Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten konglomerasi Grup MNC yang dikendalikan pengusaha nasional, Hary Tanoesoedibjo (Hary Tanoe) yakni PT MNC Vision Networks Tbk (IPTV) membuka opsi untuk membubarkan MNC Entertainment Limited, 'kendaraan' bisnis yang didirikan demi membantu proses merger antara PT Asia Vision Network (AVN) dengan Malacca Straits Acquisition Company Limited (MLAC) di AS.
Keputusan ini diambil setelah manajemen IPTV menegaskan bahwa batalnya merger anak usahanya AVN dengan MLAC di bursa Wall Street AS dipastikan final.
MLAC adalah perusahaan cek kosong atau Special Purpose Acquisition Company (SPAC) yang tercatat di Bursa Nasdaq AS dengan kode saham MLAC.
SPAC adalah perusahaan cangkang sengaja didirikan secara khusus yang memungkinkan perusahaan lain untuk menggalang dana melalui penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO).
Sementara MNC Entertainment Ltd adalah anak usaha AVN di Cayman Islands yang didirikan untuk keperluan merger dengan Malacca Straits.
Sekretaris Perusahaan IPTV Muharzi Hasril mengatakan dengan finalnya keputusan pembatalan ini, maka mengenai kelanjutan pendirian MNC Entertainment Ltd, anak usaha AVN, perseroan akan mempergunakan perusahaan tersebut atau membubarkannya.
"Terkait dengan MNC Entertainment Ltd perseroan akan mempergunakan perusahaan tersebut atau melakukan pembubaran, disesuaikan dengan rencana-rencana pengembangan kegiatan usaha perseroan atau anak perusahaan," kata Muharzi, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), dikutip Senin (18/10/2021).
Lantas kenapa merger ini batal?
NEXT: Alasan di Balik Batalnya Merger
Padahal September lalu, dalam keterangan resmi IPTV, disebutkan bahwa dengan merger AVN dan MLAC maka nilai proforma perusahaan akan mencapai sebesar US$ 573 juta atau setara dengan Rp 8,02 triliun dengan asumsi kurs rata-rata Rp 14.000 per US$.
Kedua perusahaan juga sebelumnya telah sepakat menandatangani perjanjian mengenai rencana merger tersebut yang digodok sejak semester kedua tahun 2020, kendati akhirnya dibatalkan pada 18 September 2021.
Namun Muharzi menegaskan keputusan itu tidak menimbulkan dampak signifikan dan tidak berdampak buruk terhadap kegiatan operasional dan keuangan perseroan dan AVN.
"Operasional masih berjalan normal," katanya.
Transaksi SPAC Overcrowded
Muharzi membeberkan alasan utama kenapa transaksi ini batal. Dia menjelaskan bahwa proses transaksi merger keduanya sebetulnya digodok sejak semester kedua tahun 2020 dan pada saat itu transaksi SPAC masih sangat diminati investor di Bursa Nasdaq. Akan tetapi, memasuki tahun 2021, terjadi banyak sekali transaksi SPAC di Nasdaq.
Dengan demikian, kondisi itu berpengaruh terhadap valuasi karena SPAC menjadi overcrowded, termasuk berakibat pada harga saham MLAC yang tetap berada di bawah nilai nominal US$ 10/saham.
"Setelah melalui penjajakan berbagai roadshow, MLAC dan AVN akhirnya sepakat untuk tidak melanjutkan transaksi [merger]," katanya.
"Hal lain yang melatarbelakangi keputusan di atas adalah makin bergairahnya investor di BEI terhadap perusahaan yang bergerak di bidang digital termasuk fokus bisnis AVN," kata Muharzi.
IPTV menyebutkan, saat ini, AVN sebagai induk usaha dari Vision+ menjalankan bisnis utama di bisnis media over the top (OTT) dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia.
Dengan penetrasi media OTT saat ini yang baru mencapai 2%, AVN secara strategis ditempatkan pada siklus pertumbuhan di tahap awal. Hal ini juga ditopang oleh populasi penduduk Indonesia yang terbesar keempat di dunia dengan PDB lebih dari US$ 1 triliun dan populasi rata-rata berusia 31 tahun.
Saat ini, posisi pasar utama MNC Media mencapai 50% pangsa pemirsa nasional pada siaran Free-to-Air. termasuk 53,5% pada sabuk Prime-Time, lebih dari 8 juta pelanggan TV berbayar, lebih dari 73 juta pengguna aktif Portal Berita bulanan, dan 217 juta pelanggan/pengikut Media Sosial, menyediakan platform luar biasa untuk cross-selling dan memberikan penawaran unik dan menarik untuk AVN.
Kondisi Global
Sebelumnya AVN yang batal merger, ada startup di bidang Online Travel Agent (OTA) yakni Traveloka yang juga dikabarkan batal melantai atau menawarkan saham perdana (initial public offering/IPO) di bursa saham AS melalui SPAC.
Tim Riset CNBC Indonesia menilai, dahulu SPAC digemari dan banyak melantaikan berbagai perusahaan termasuk startup teknologi.
Berdasarkan data SPAC Insider, dalam satu dekade terakhir jumlah IPO SPAC melonjak sampai 29 kali dari 15 pada 2011 menjadi 436 tahun 2021.
Nilai gross proceeds IPO SPAC telah naik hampir 126 kali pada periode yang sama dari US$ 1 miliar menjadi US$ 126 miliar. Rata-rata nilai transaksi IPO SPAC juga naik 4 kali dari US$ 72 juta pada 2011 menjadi US$ 289 juta tahun ini.
Saat ini transaksi lewat SPAC memang sudah cenderung overcrowded. Euforia di SPAC perlahan mulai menurun seiring dengan penurunan harganya.
Berdasarkan penelusuran Reuters, lebih dari 100 SPAC yang mengumumkan merger di tahun ini, rata-rata hanya membukukan apresiasi kurang dari 2% dari harga perdagangan masing-masing saat pertama kali terdaftar di bursa.
Padahal di periode yang sama, median pertumbuhan harga saham konstituen S&P 500 tercatat sebesar 15% hingga Mei tahun ini. Itu artinya saham-saham yang melantai lewat SPAC kalah cuan dengan saham yang melantai lewat scenario biasa.
Di sisi lain otoritas bursa di AS juga punya niatan untuk mengetatkan aturan terhadap SPAC menjadi faktor negatif yang semakin meredupkan pamor SPAC. Alhasil akhir-akhir ini berberapa perusahaan yang sudah berniat untuk menghimpun dana via SPAC terpaksa mengurungkan niatnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA