Cerita Proyek Kereta Cepat: Bengkak Rp28 T sampai Luhut Turun

Monica Wareza, CNBC Indonesia
Senin, 11/10/2021 10:45 WIB
Foto: Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (depan kiri) dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono ( depan belakang) bersama Menteri BUMN Erick Thohir (belakang kiri) dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (belakang kanan) melakukan Seremonial Pengecoran Closure Tengah Jembatan Lengkung Bentang Panjang Kuningan Kereta Api Ringan / Light Rail Transit Terintegrasi Wilayah Jabodebek di kawasan Gatot Subroto, Senin (11/11/2019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) yang membentang antara Jakarta-Bandung kembali ramai dibicarakan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk ketua komite baru untuk mengawasi penyelesaian pembangunan proyek ini.

Belum lagi, pemerintah disebut akan menggelontorkan dana untuk menyelesaikan pembangunan proyek triliunan rupiah tersebut.

Pembangunan kereta cepat ini disebut-sebut memakan waktu yang lebih panjang dari target semula hingga akhirnya menyebabkan terjadinya pembengkakan biaya yang sangat tinggi daripada target semula.


Lalu bagaimana sebenarnya ceritanya?

Berikut rentetan ceritanya dirangkum pemberitaan CNBC Indonesia

Biaya Bengkak Hingga Rp 28 Triliun

Salah satu pemegang saham kereta cepat ini, PT Kereta Api Indonesia (Persero)/KAI menyebutkan biaya pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung membengkak (cost overrun) hingga US$ 2 miliar atau setara dengan Rp 28,6 triliun (asumsi kurs Rp 14.300/US$), sehingga total menjadi US$ 8 miliar atau Rp 114,40 triliun.

Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo mengatakan biaya pembangunan proyek ini awalnya dianggarkan senilai US$ 6,07 miliar atau Rp seperti yang telah ditetapkan pada 2016 silam. Proyek ini mendapatkan konsesi selama 50 tahun dan dapat diperpanjang.

"September 2020 sudah ada indikasi cost overrun terkait keterlambatan daripada project ini," kata Didiek dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (1/9/2021).

Nilai tersebut telah muncul dalam kajian pada Januari 2021 senilai US$ 2,28 miliar. Hal ini disebabkan karena keterlambatan penyerahan lahan untuk proyek tersebut sehingga berdampak pada pembengkakan biaya.

Dalam kesempatan terpisah, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan ada tiga permasalahan di proyek ini sehingga pihaknya melakukan perubahan peraturan presiden, yaitu pemenuhan base equity, cost overrun (pembengkakan biaya), dan cash deficit pada masa operasi.

Dia menjelaskan pembengkakan biaya atau cost overrun terjadi karena keterlambatan pembebasan lahan dan perencanaan yang terlalu optimistis dan kurang kuatnya manajemen proyek.

"Saat ini sedang melakukan diskusi cost over run, juga terakhir kita diskusi cash defisit dengan China untuk kelangsungan usaha," katanya. Dalam RDP Komisi VI DPR RI, Kamis (8/7/2021).

Pemegang Saham Belum Setor Modal

Wamen Kartika juga menyebutkan bahwa terdapat masalah kekurangan kewajiban ekuitas dasar (base equity) yang disetor oleh porsi Indonesia PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebesar Rp 4,36 triliun.

Hal ini disebabkan sisa setoran oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 8 berupa bidang tanah tidak disetujui oleh pihak China, karena tidak mampu injeksi dalam bentuk cash.

Begitu juga dengan setoran dari PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) berupa right of way atau penggunaan aset jalan tol, yang tidak dapat diterima pihak China.

Selain itu PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan KAI juga sedang mengalami keterbatasan keuangan karena dampak Covid - 19.

Terpisah, Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo mengungkapkan mengenai pemenuhan modal ini terhambat lantaran. Padahal rencananya perusahaan akan menyetorkan Rp 4,3 triliun.

Dia menyebut, perusahaan telah mengajukan penundaan setoran modal dasar tersebut ke Mei 2021 dari Desember 2020, namun masih belum mendapatkan persetujuan dari pihak China.

"Setoran modal belum kita penuhi, jadi paid up capital kita belum setor lagi. Kira-kira Rp 4,3 triliun, itu belum kita lakukan," terangnya.

Adapun PSBI merupakan pemegang saham 60%, sedangkan pemegang saham lainnya adalah Beijing Yawan dengan porsi 40%.

PSBI ini terdiri dari Wika 38%, KAI sebesar 25%, PT Perkebunan Nusantara VII 25%, dan Jasa Marga sebesar 12%.

NEXT: BUMN Tunggu PMN hingga Luhut Turun Tangan


(tas/tas)
Saksikan video di bawah ini:

Video: OJK Awasi Ketat Kripto, Fokus pada Aktivitas Domestik

Pages