Analisis

Rupiah Tetap Jadi Idola di Asia, Bisa ke Rp 14.100/US$?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Senin, 11/10/2021 08:27 WIB
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sepanjang pekan lalu mencatat penguatan 0,59% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.420/US$. Penguatan rupiah di pekan ini berpotensi berlanjut, dan tidak menutup kemungkinan mencapai Rp 14.100/US$.

Sebabnya, rupiah masih menjadi idola pelaku pasar di Asia, di saat mata uang lainnya "dibuang". Hal tersebut tercermin dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters yang menunjukkan pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap rupiah, bahkan menjadi satu-satunya yang terbesar diantara 9 mata uang Asia lainnya.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.


Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis, Kamis (7/10/2021) pekan lalu menunjukkan angka untuk rupiah di -0,29, meski menipis dari 2 pekan lalu -0,5.

Survei ini konsisten dengan pergerakan rupiah, ketika pelaku pasar mengambil posisi long, maka rupiah akan cenderung menguat, begitu juga sebaliknya.

Selain itu, rilis data tenaga kerja AS pada pekan lalu membuat pelaku pasar kembali menimbang-nimbang peluang kenaikan suku bunga di tahun depan. Untuk tapering, hampir pasti akan dilakukan di tahun ini, tetapi untuk kenaikan suku bunga, ketua bank sentral AS (The Fed), Jerome Powell, sebelumnya mengatakan perlu kemajuan lebih lanjut di pasar tenaga kerja.

Tetapi, pada pekan lalu data tenaga kerja justru dirilis mengecewakan. Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang bulan September perekonomian Negeri Paman Sam mampu menyerap 194.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) sangat jauh di bawah prediksi pasar sebanyak 490.000 tenaga kerja.

Tetapi di sisi lain, rata-rata upah per jam menunjukkan peningkatan 0,6% dari bulan sebelumnya. Sementara jika dilihat dari September 2020, terjadi peningkatan sebesar 4,6%. Dalam 6 bulan terakhir, rata-rata upah per jam menunjukkan kenaikan 6% year-on-year (YoY). Kenaikan upah tersebut membuat inflasi diprediksi masih akan tinggi dalam waktu yang lebih panjang, yang bisa berdampak pada proyeksi kebijakan moneter The Fed.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Analisis Teknikal


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS

Pages