Analisis

Saham Old Economy Bangkit! New Economy Anak Kemarin Sore

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
07 October 2021 09:25
Kapal tongkang Batu Bara (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang kuartal ketiga tahun ini, kinerja saham-saham sektor ekonomi lama (old economy) berhasil bangkit dan mengalahkan saham-saham ekonomi baru (new economy), termasuk saham teknologi, yang sempat menjadi primadona investor.

Secara sederhana, old economy bisa dianggap sebagai ekonomi yang dimulai sejak awal abad ke-20 ketika inovasi industri mulai berkembang dan menitikberatkan pada sektor-sektor, seperti manufaktur dan komoditas--termasuk pertambangan dan agrikultur.

Sementara, new economy berkembang seiring semakin pesatnya pertumbuhan teknologi sejak akhir dekade 90-an yang berfokus pada teknologi terkini dan internet, termasuk komputasi awan dan sejenisnya.

Bisa dikatakan, new economy menandai pergeseran dari ekonomi berbasis manufaktur dan komoditas ke ekonomi yang menggunakan teknologi baru--internet dan sejenisnya--untuk menciptakan produk dan layanan baru, mulai dari e-commerce, media sosial, penyimpanan awan, sampai layanan streaming.

Di bursa saham Amerika Serikat (AS), saham-saham teknologi alias new economy saat ini menguasai daftar saham dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar (big cap). Untuk menyebut beberapa, ada Apple, Microsoft, Alphabet (induk Google), Amazon, hingga Facebook.

Sementara itu, melantainya e-commerce PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) pada 6 Agustus 2021, setelah debut emiten data center PT DCI Indonesia Tbk (DCII) pada 6 Januari 2021, seolah semakin menegaskan dimulainya era saham sektor new economy di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Saham DCII besutan pengusaha Toto Sugiri, misalnya, sempat melonjak hingga 14.000% secara ytd pada Juni lalu. Selain itu, saham emiten yang juga dimiliki Bos Indofood Anthoni Salim ini sempat menyentuh harga Rp 59.000/saham sebelum disuspensi (penghentian saham sementara) oleh bursa pada 16 Juni lalu seiring kenaikan harga yang signifikan.

Tak pelak lagi, saham DCII menjadi saham yang paling 'meroket' di antara 37 saham lainnya yang baru melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) selama 2021.

Namun, selama triwulan ketiga 2021, saham-saham energi 'bangkit dari kubur' untuk memegang kendali dan menendang saham-saham teknologi dari daftar saham dengan kenaikan tertinggi di bursa.

Berikut ini daftar rapor kinerja indeks sektoral (IDX-IC) di BEI sepanjang kuartal III 2021.

Kinerja Indeks Sektoral BEI Kuartal III 2021

Indeks Sektoral

Posisi Terakhir

% Q3-2021

IDXENERGY

996.28

38.35

IDXTRANS

1202.25

22.05

IDXCYCLIC

855.05

14.09

IDXINDUST

1081.81

11.97

IDXINFRA

975.86

10.52

IDXFINANCE

1414.81

7.28

IDXPROP

819.91

4.23

IDXHEALTH

1359.34

-0.64

IDXBASIC

1124.86

-2.93

IDXNONCYC

673.91

-6.09

IDXTECHNO

9442.68

-12.50

Sumber: Bursa Efek Indonesia (BEI) | Terakhir per 30 September 2021

Mengacu pada data di atas, indeks saham energi (IDXENERGY) memimpin 'klasemen' dengan melesat 38,35% ke 996,28.

Kenaikan indeks sektor yang dianggap sebagai old economy ini ditopang oleh reli kenaikan saham batu bara dan sebagian kecil saham emiten migas (minyak dan gas) seiring dengan melonjaknya harga komoditas batu bara dan minyak akhir-akhir ini.

Saham emiten batu bara PT Perdana Karya Perkasa Tbk (PKPK), misalnya, melonjak 125,00% selama kuartal III. Contoh lain, saham batu bara Grup Rajawali PT Golden Eagle Energy Tbk (SMMT) melesat 79,66%, PT Bayan Resources 'terbang' 111,65%, PT Bumi Resources melejit 56,67%.

Kemudian, saham migas PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) melonjak 39,98%, saham emiten anak usaha PT Pertamina (Persero), PT Elnusa Tbk (ELSA) naik 21,48%.

'Balas Dendam' Old Economy lewat Batu Bara dan Minyak

Harga batu bara terus melesat sejak awal tahun. Saat ini, harga komoditas batu hitam ini sudah mendekati level US$ 290/ton.

Kemarin, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) ditutup di US$ 280/ton. Melonjak 12,45% dibandingkan hari sebelumnya sekaligus jadi yang tertinggi setidaknya sejak 2008.

Harga batu bara benar-benar luar biasa tahun ini. Dalam sepekan terakhir, harga melesat 21,62% secara point-to-point. Selama sebulan ke belakang kenaikannya 50,4%.

Sejak akhir 2020 (year-to-date), harga batu bara meroket 234,78%.

Lonjakan batu bara akhir-akhir ini ditopang oleh persediaan yang menipis di tengah permintaan yang meningkat karena pembukaan aktivitas ekonomi. Naiknya harga minyak dan gas juga mempengaruhi kinerja batu bara yang terus mencatatkan rekor harga tertinggi sepanjang masa.

Apalagi, saat ini sejumlah negara di dunia sedang dilanda energi menjelang musim dingin tahun ini.

Kelangkaan pasokan dan naiknya harga gas, naiknya tarif bahkan padamnya listrik, serta sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) menjadi beberapa alasannya.

Berdasarkan kompilasi pemberitaan CNBC International, setidaknya ada tiga negara di dunia yang sedang mengalami hal tersebut, yakni Inggris, China, India. Beberapa mengamankan komoditas, seperti batu bara, untuk kelangsungan listrik warganya.

Setali tiga uang, harga minyak pun melesat. Pada Rabu (6/10/2021) pukul 06:35 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 82,56/barel. Melonjak 1,6% dari hari sebelumnya dan menjadi rekor tertinggi sejak 10 Oktober 2018.

Sementara yang jenis light sweet harganya US$ 79,04/barel. Naik tipis 0,14% tetapi menjadi yang tertinggi sejak 28 Oktober 2014.

Lonjakan harga minyak disebabkan oleh respons pasar terhadap hasil pertemuan OPEC+. Dalam pertemuan tersebut, Arab Saudi, Rusia, dan kolega sepakat untuk mempertahankan produksi seperti kesepakatan sebelumnya.

Beberapa waktu lalu, OPEC+ sepakat untuk menambah produksi minyak sebanyak 400.000 barel/hari/bulan hingga Desember 2021.

Saham CPO Kembali Berlari

Belum lagi, saham-saham produsen minyak sawit (crude palm oil/CPO) juga berhasil melesat akhir-akhir ini. Saham emiten sawit TP Rachmat PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG), misalnya, melejit 44,35% dalam sebulan terakhir. Adapun selama 3 bulan saham ini sudah mendaki 26,95%.

Contoh lain, emiten Grup Salim PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) berhasil menanjak 37,21% dalam sebulan dan melesat 36,57% dalam 3 bulan belakangan.

Kenaikan saham CPO terjadi seiring harga CPO melesat akhir-akhir ini. Kenaikan harga minyak bumi ikut mengerek harga CPO.

Pada Rabu (6/10/2021) pukul 10:24 WIB, harga CPO di Bursa Malaysia tercatat MYR 4.869/ton. Melesat 2,76% dibandingkan posisi hari sebelumnya dan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah perdagangan CPO.

Harga CPO terus berada di tren bullish. Dalam sepekan terakhir, harga komoditas ini melonjak 9,29%. Selama sebulan ke belakang, kenaikannya mencapai nyaris 11%.

Peningkatan permintaan membuat harga CPO terangkat. Mengutip Reuters, impor CPO India pada September 2021 mencapai 1,4 juta ton. Naik dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sekaligus menjadi rekor tertinggi.

"Lonjakan impor disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menurunkan bea masuk," ujar Sandeep Bajoria, CEO Sunvin Group.

Saham Teknologi 'Kehabisan Bensin'?

Berbeda nasib, indeks saham teknologi (IDXTECHNO)--yang termasuk new economy--menjadi yang paling anjlok, yakni 12,50% ke 9.442,68. Merosotnya kinerja indeks teknologi sepanjang kuartal III ini terjadi lantaran minim sentimen positif.

IPO e-commerce yang dimiliki Grup Emtek BUKA pada 6 Agustus 2021, yang mulanya dianggap bakal turut mendorong kinerja IDXTECHNO, malah berjalan kurang mulus. Selama sebulan belakangan saham BUKA merosot 0,59%, sementara sejak debut saham BUKA malah turun 1,18% ke Rp 840/saham.

Saham sang induk BUKA, PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) pun ambles dalam, yakni 33,13%, selama kuartal III 2021.

Kemudian, saham DCII dan sang 'saudara' PT Indointernet Tbk (EDGE) juga ambles masing-masing 22,88% dan 34,29%. Padahal, saham DCII sempat menjadi primadona di antara saham teknologi lainnya, seiring dengan banyaknya sentimen--termasuk, masuknya Anthoni Salim ke saham tersebut beberapa waktu lalu.

Amblesnya saham BUKA, EMTK, dan DCII, tentu memperberat gerak sektor teknologi lantaran ketiganya memiliki nilai kapitalisasi pasar (market cap) yang jumbo. Saham BUKA memiliki market cap Rp 86,57 triliun, EMTK mencapai Rp 101,89 triliun, dan DCII sebesar Rp 108,46 triliun.

Saham Energi Jadi Pendorong IHSG hingga Akhir Tahun?

Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhir-akhir ini terbilang ciamik, didorong oleh masuknya investor asing dan melesatnya saham-saham big cap, terutama perbankan.

Pada Rabu (6/10) siang ini, pukul 13.45 WIB, misalnya, IHSG melonjak tinggi hingga menyentuh level psikologis 6.400 sebesar 2,34% ke 6.435,71. Investor asing membukukan beli bersih di pasar reguler Rp 2,27 triliun. Dengan ini, dalam sebulan IHSG naik 6,78%, sementara secara year to date (ytd) melesat 7,61%.

Dengan berkaca pada kinerja indeks saham sektor energi di atas, beserta saham CPO, sektor tersebut bisa menjadi pendorong IHSG tahun ini di tengah adanya krisis energi yang melanda sejumlah negara, termasuk China, yang turut membuat harga batu bara, minyak, dan gas melambung tinggi.

Namun, perlu dicatat, lantaran porsi market cap indeks sektor keuangan tertinggi di bursa, mencapai 39,40%, pergerakan IHSG juga akan dipengaruhi oleh kinerja saham-saham big cap yang juga masuk ke sektor finansial macam PT Bank Central Asia Tbk/ BBCA (market cap Tp 884,50 triliun) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (market cap Rp 625,94 triliun).

Selain sektor finansial, sektor konsumer non-siklikal juga memiliki porsi market cap terbesar kedua, yakni 13,77%.

Dengan demikian, saham-saham sektor non-siklikal dengan market cap terjumbo, seperti produsen produk perawatan diri PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (Rp 162,90 triliun), produsen rokok PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (Rp 126,2 triliun), emiten poultry PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (102,90 triliun), juga akan turut berkontribusi besar terhadap arah IHSG.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular