
Andai AS Beneran Shutdown, Apakah Ada Imbasnya ke RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kongres Amerika Serikat (AS) pada Kamis (30/9/2021) malam berhasil mengesahkan undang-undang (UU) alokasi dana jangka pendek yang diteken untuk penyelamatan pendanaan pemerintah federal dari ancaman shutdown parsial dan gagal bayar (default).
Mengutip CNBC International, dua kamar di kongres, DPR dan Senat, sama-sama meloloskan RUU itu yang dapat menyelamatkan pemerintah AS setidaknya hingga 3 Desember mendatang.
Senat menyetujui undang-undang tersebut dengan suara 65-35. Seluruh 50 anggota Partai Demokrat mendukungnya ditambah dengan 15 anggota Partai Republik bergabung dengan mereka.
Sementara DPR meloloskan RUU dengan margin 254-175. Seluruh Demokrat setuju dan 34 anggota Republik mendukungnya.
"Ini adalah hasil yang bagus, yang saya senang kita selesaikan," ujar pemimpin Senat dari Partai Demokrat, Chuck Schumer.
Dana alokasi itu sendiri merupakan jalan tengah untuk menyelamatkan keuangan AS setelah sebelumnya RUU kenaikan plafon utang digagalkan oleh Senat. Senat menyebut bahwa saat utang Negeri Paman Sam saat ini sudah cukup besar.
Nantinya pendanaan jangka pendek ini akan digunakan untuk beberapa kegiatan, seperti dana untuk penanganan bencana dan pengungsi Afghanistan.
Sebelumnya, pihak eksekutif dengan kongres sempat bersitegang akibat RUU (rancangan undang-undang) kenaikan pagu atau batas utang ditangguhkan Senat. Menteri Keuangan Janet Yellen sempat mengancam dengan membeberkan sederet bencana yang bisa dialami AS jika gagal bayar.
"Anda akan melihat lonjakan suku bunga jika plafon utang tidak dinaikkan," tulisnya kepada Ketua DPR AS, Nancy Pelosi, dalam sebuah surat.
"Saya pikir akan ada krisis keuangan dan bencana. Benar sekali, memang benar pembayaran bunga utang pemerintah akan meningkat."
Berdasarkan data dari Statista, per Agustus lalu, nilai utang AS sebenarnya mencapai US$ 28,427 triliun. Ini nyaris sama dengan bulan sebelumnya, tetapi turun cukup jauh dari bulan Juni US$ 28,529 triliun.
Namun, US Debt Clock, yang melihat posisi real time utang AS saat ini mencapai US$ 28,781 triliun atau Rp 40.129 triliun. Jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), utang tersebut sebesar 125% dari PDB Negeri Adidaya.
Saat ini batas utang AS mentok di US$ 28,4 triliun. Shutdown bukan hal yang baru, pernah terjadi berkali-kali di AS. Yang terakhir dan masih segar di ingatan adalah shutdown di era pemerintahan Presiden AS ke-45, Donald Trump.
Sama seperti tahun ini, saat itu di 2018, Partai Demokrat menolak rancangan anggaran dari Partai Republik yang menguasai pemerintahan. Akhirnya anggaran sementara diloloskan, tetapi hingga akhir tahun belum ada kesepakatan untuk anggaran satu tahun fiskal 2019. Alhasil, pemerintahan AS shutdown selama hampir 35 hari, mulai 22 Desember 2018 hingga 25 Januari 2019.
Shutdown tersebut merupakan yang terpanjang dalam sejarah Amerika Serikat, dan berdampak cukup besar terhadap perekonomian.
Menurut Congressional Budget Office (CBO), shutdown tersebut berdampak ke perekonomian sebab sekitar 800.000 tenaga kerja dirumahkan, kemudian belanja pemerintah federal juga menjadi tertunda.
Berdasarkan kalkulasi CBO, kerugian yang diderita AS sebesar US$ 11 miliar atau setara Rp 154 triliun (kurs Rp 14.000/US$). Dari kerugian tersebut, sebesar US$ 3 miliar atau Rp 42 triliun hilang permanen.
Dengan kerugian tersebut, produk domestik bruto (PDB) pun terpangkas.
Nah, pertanyaannya - seandainya suatu saat terjadi - apakah shutdown AS bisa berdampak ke negara lain, termasuk Indonesia?
Amerika Serikat merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, sehingga kinerja ekonominya akan berdampak ke negara lainnya. Untuk Indonesia, Amerika merupakan pasar ekspor terbesar kedua setelah China.
Namun, kendati mengalami shutdown, bisa berdampak besar ke Indonesia. Sebab, perekonomian AS masih berjalan, penutupan pemerintahan hanya sebagian saja.
Shutdown yang terjadi di era Presiden Trump merupakan yang terlama sepanjang sejarah. Tetapi dari sisi perdagangan bisa dikatakan tidak berdampak.
Seperti disebutkan sebelumnya, shutdown terjadi pada 22 Desember 2018 hingga 25 Januari 2019. Jika dilihat dari data ekspor Indonesia ke Amerika justru mengalami peningkatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor non-migas Indonesia ke Amerika Serikat di bulan Desember 2018 tercatat sebesar US$ 1,484 miliar naik 1,99% dari ekspor bulan November 2018.
Kemudian, ekspor di Januari 2019 juga naik 2% menjadi US$ 1,512 miliar. Hal tersebut membuktikan jika shutdown sebenarnya tidak berdampak besar dari sisi perdagangan.
Selain itu, dari sisi pasar finansial, ketika shutdown terjadi nilai tukar rupiah mengalami penguatan. Pada Jumat 21 Agustus 2018, rupiah berada di Rp 14.550/US$, sementara pada Senin 28 Januari 2019 di Rp 14.065/US$ artinya terjadi penguatan lebih dari 3,3%. Dari pasar saham, pada periode yang sama IHSG juga mencatat penguatan lebih dari 4,5%.
Artinya, dampak shutdown memang tidak besar, bahkan saat penutupan sebagian pemerintahan tersebut menjadi terlama sepanjang sejarah Amerika Serikat. Dengan demikian, tidak perlu khawatir, selama shutdown tidak berlangsung lama tentunya.
Yang perlu dikhawatirkan adalah jika Amerika Serikat mengalami gagal bayar, sebab belum pernah terjadi sebelumnya, dan bisa memicu gejolak di pasar finansial global.
Gagal bayar Negeri Paman Sam, meskipun tampak mustahil, dapat memicu kemerosotan ekonomi dan menyebabkan jutaan orang Amerika yang bergantung pada gaji atau bantuan dari pemerintah federal jatuh miskin.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Biden Lega AS Batal Shutdown, Utang Rp 400 Ribu T Nambah?