Awal Oktober Bursa Asia Ambruk, Nikkei Ambles 2% Lebih
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia kembali ditutup berjatuhan pada perdagangan Jumat (1/10/2021), di tengah meningkatnya kekhawatiran berbagai gangguan rantai pasokan di seluruh dunia yang dapat membuat inflasi kembali meningkat untuk periode yang lebih lama.
Indeks Nikkei Jepang memimpin pelemahan bursa Asia pada hari ini, yakni ambruk hingga 2,31% ke level 28.771,07, Straits Times Singapura ambles 1,15% ke 3.051,11, KOSPI Korea Selatan anjlok 1,62% ke 3.019,18, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir merosot 0,92% ke posisi 6.228,84.
Sementara untuk indeks Hang Seng Hong Kong dan Shanghai Composite China pada hari ini tidak dibuka karena sedang libur nasional memperingati Hari Kebangsaan.
Pasar saham Asia yang kembali ambruk terjadi karena investor khawatir dengan masalah rantai pasokan di seluruh dunia yang dapat membuat inflasi kembali meningkat untuk periode yang lebih lama.
Hal ini karena adanya krisis energi di Eropa yang berdampak pada rantai pasokan ke Asia, di mana harga gas alam mencapai rekor tertinggi semalam di tengah laporan bahwa China juga berebut untuk mengamankan persediaan untuk musim dingin.
Di lain sisi, krisis listrik di China juga turut memperberat sentimen pasar Asia pada hari ini, mengingat China juga akan memasuki musim dingin.
"Kekhawatiran tentang berlanjutnya gangguan rantai pasokan secara global karena krisis listrik China terlihat mengurangi sentimen investor. Itu telah menambah kekhawatiran tentang pendapatan perusahaan yang akan datang," kata Huh Jae-hwan, analis di Eugene Investment & Securities, dikutip dari Reuters.
Investor juga khawatir dengan potensi pengetatan kebijakan moneter bank sentral global, di mana sejumlah bank sentral telah menaikkan suku bunga, seperti Norwegia, Korea Selatan, dan Brasil.
Namun yang ditunggu oleh pasar adalah bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed). Dalam dotplot terakhir, semakin banyak anggota Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) yang ingin menaikkan Federal Funds Rate tahun depan. Lebih cepat dibandingkan perkiraan awal yaitu 2023.
Kenaikan suku bunga acuan dilakukan sebagai respons terhadap laju inflasi yang mulai terakselerasi. Jika suku bunga terus-menerus rendah sementara inflasi meninggi, maka perekonomian akan 'memanas' alias overheat. Ini akan menciptakan stagflasi, pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah padahal inflasi tinggi.
Saat suku bunga acuan naik, maka rezim suku bunga rendah resmi berakhir. Aset-aset keuangan akan memasukkan faktor inflasi sebagai pengurang imbalan. Imbalan investasi pun meningkat.
Selain itu, ditundanya pemungutan suara pada pengesahan RUU infrastruktur bipartisan AS sebesar US$ 1 triliun dari pemerintahan Biden juga turut membebani sentimen pasar pada hari ini, di mana saat ini para pemimpin dari Partai Demokrat bergegas untuk mengumpulkan dukungan yang cukup.
"Kekhawatiran bahwa RUU infrastruktur AS yang mungkin tidak lolos di Kongres tampaknya menjadi penyebab utama hari ini. Tapi hal itu tidak terlalu buruk seperti aksi panic selling investor," kata Takeo Kamai, kepala layanan eksekusi di CLSA, dilansir dari Reuters.
Sementara itu dari AS, kontrak berjangka (futures) indeks saham AS melemah dam berpeluang melanjutkan koreksi yang dicetak pada kemarin.
AS akan mempublikasikan indeks harga belanja konsumen inti (personal consumption expenditure/PCE) Agustus, yang menjadi acuan The Fed dalam menentukan kebijakan moneter. Pasar memperkirakan inflasi PCE tersebut naik 0,2% secara bulanan dan 3.5% secara tahunan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)