
Ada Apa ya, kok 3 Hari Beruntun Rupiah Loyo Tanpa Perlawanan?

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Sudah 3 hari beruntun rupiah tanpa perlawanan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Begitu perdagangan Kamis (30/9) dibuka, rupiah langsung melemah 0,14% ke Rp 14.310/US$. Padahal, rupiah sebenarnya berpeluang menguat pada hari ini melihat koreksi yang dialami yield obligasi AS (Treasury).
Rupiah mengalami tekanan setelah China mengirim kabar buruk. Depresiasi rupiah tercatat sebesar 0,28% ke Rp 14.330/US$, level terlemah sejak 31 Agustus lalu.
Di akhir perdagangan, rupiah mampu memangkas pelemahan ke Rp 14.310/US$.
Rilis data aktivitas manufaktur China memberikan sentimen negatif. Sebab, untuk pertama kalinya sejak Februari 2020, sektor manufaktur China kembali mengalami kontraksi.
Aktivitas manufaktur dilihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) dengan angka 50 menjadi ambang batas. Di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.
Pemerintah China hari ini melaporkan PMI manufaktur bulan September turun menjadi 49,6 dari bulan sebelumnya 50,1.
PMI manufaktur Negeri Tirai Bambu sudah mengalami penurunan dalam 6 bulan beruntun, kali terakhir mencatat kenaikan pada Maret lalu, dengan angka indeks saat itu sebesar 51,9.
Tren tersebut hingga akhirnya mengalami kontraksi memicu kecemasan akan pelambatan ekonomi China akan kembali muncul.
Sebelumnya, Ekonom dari Goldman Sachs memangkas proyeksi produk domestik bruto (PDB) China di tahun ini menjadi 7,8% dari sebelumnya 8,4%. Pemangkasan tersebut cukup tajam, sebab China dikatakan akan menghadapi tantangan dari pembatasan konsumsi energi.
"Kendala pertumbuhan yang relatif baru berasal dari peningkatan regulasi untuk target konsumsi dan intensitas energi yang ramah lingkungan," kata ekonom Goldman Sachs dalam sebuah laporan yang dikutip CNBC International.
Kebijakan China tersebut membuat pasokan listrik di beberapa provinsi menjadi terbatas, dan berdampak pada aktivitas pabrik. Selain itu, tingginya harga bahan baku juga menjadi pemicu kontraksi sektor manufaktur negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Yield Treasury akhirnya Terkoreksi
