Ada Apa ya, kok 3 Hari Beruntun Rupiah Loyo Tanpa Perlawanan?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 September 2021 15:43
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah 3 hari beruntun rupiah tanpa perlawanan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Begitu perdagangan Kamis (30/9) dibuka, rupiah langsung melemah 0,14% ke Rp 14.310/US$. Padahal, rupiah sebenarnya berpeluang menguat pada hari ini melihat koreksi yang dialami yield obligasi AS (Treasury).

Rupiah mengalami tekanan setelah China mengirim kabar buruk. Depresiasi rupiah tercatat sebesar 0,28% ke Rp 14.330/US$, level terlemah sejak 31 Agustus lalu.

Di akhir perdagangan, rupiah mampu memangkas pelemahan ke Rp 14.310/US$.

Rilis data aktivitas manufaktur China memberikan sentimen negatif. Sebab, untuk pertama kalinya sejak Februari 2020, sektor manufaktur China kembali mengalami kontraksi.

Aktivitas manufaktur dilihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) dengan angka 50 menjadi ambang batas. Di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.

Pemerintah China hari ini melaporkan PMI manufaktur bulan September turun menjadi 49,6 dari bulan sebelumnya 50,1.

PMI manufaktur Negeri Tirai Bambu sudah mengalami penurunan dalam 6 bulan beruntun, kali terakhir mencatat kenaikan pada Maret lalu, dengan angka indeks saat itu sebesar 51,9.

Tren tersebut hingga akhirnya mengalami kontraksi memicu kecemasan akan pelambatan ekonomi China akan kembali muncul.

Sebelumnya, Ekonom dari Goldman Sachs memangkas proyeksi produk domestik bruto (PDB) China di tahun ini menjadi 7,8% dari sebelumnya 8,4%. Pemangkasan tersebut cukup tajam, sebab China dikatakan akan menghadapi tantangan dari pembatasan konsumsi energi.

"Kendala pertumbuhan yang relatif baru berasal dari peningkatan regulasi untuk target konsumsi dan intensitas energi yang ramah lingkungan," kata ekonom Goldman Sachs dalam sebuah laporan yang dikutip CNBC International.

Kebijakan China tersebut membuat pasokan listrik di beberapa provinsi menjadi terbatas, dan berdampak pada aktivitas pabrik. Selain itu, tingginya harga bahan baku juga menjadi pemicu kontraksi sektor manufaktur negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Yield Treasury akhirnya Terkoreksi

Sementara itu kemarin yield Treasury turun 2,25 basis poin ke 1,5236%, setelah naik 4 hari beruntun dengan total 18,57 basis poin. Penurunan kembali berlanjut sebesar 1,16 basis poin pagi ini, yang sebenarnya membuka peluang penguatan rupiah. Sayangnya, efek manufaktur China lebih besar.

Pelaku pasar mulai mencerna kembali peluang kenaikan suku bunga di AS pada tahun depan, meski inflasi tinggi, salah satu indikator lainnya yakni pasar tenaga kerja dikatakan masih belum cukup untuk menaikkan suku bunga.

Hal tersebut diungkapkan ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell.

Powell terlihat pro kenaikan suku bunga di 2023 ketimbang tahun depan, ia menyatakan perekonomian masih jauh untuk mencapai pasar tenaga kerja maksimum.

"Pada pekan lalu saya mengatakan kami sudah mencapai target untuk memulai tapering. Saya perjelas lagi, dalam pandangan kami, masih jauh untuk mencapai target tenaga kerja maksimum," kata Powell di hadapan Kongres AS, Selasa lalu.

Artinya, The Fed memang akan melakukan tapering dalam waktu dekat, tetapi untuk menaikkan suku bunga masih menunggu hingga target tenaga kerja maksimum tercapai.

Selain Powell beberapa elit The Fed juga bersikap dovish di pekan ini. Presiden The Fed wilayah Chicago Charles Evans mengatakan suku bunga baru akan dinaikkan pada akhir 2023.

Ia melihat, inflasi yang tinggi saat ini hanya bersifat sementara, dan baru akan cukup tinggi dan stabil guna menjadi alasan untuk menaikkan suku bunga pada akhir 2023.
"Saya memasukkan proyeksi di waktu yang seharusnya.... Menaikkan suku bunga di 2023," kata Evans merujuk pada Fed dot plot yang dirilis pada Kamis lalu, sebagaimana dikutip Reuters Senin (27/9).

Sementara itu Gubernur The Fed Lael Brainard mempertegas jika tapering tidak ada kaitannya dengan suku bunga. Artinya saat tapering resmi selesai, diperkirakan pada pertengahan tahun depan, bukan berarti suku bunga akan segera dinaikkan.

"Panduan ke depan untuk target tenaga kerja maksimum dan rata-rata inflasi jauh lebih tinggi agar bisa menaikkan suku bunga, ketimbang melakukan tapering. Saya akan menekankan, waktu kenaikan suku bunga tidak bisa dikaitkan dengan pengumuman tapering," kata Brainard.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular