Tanpa Pelawanan Lagi, Rupiah Bakal Melemah 3 Hari Beruntun
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah lagi-lagi tanpa perlawanan melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Kamis (30/9). Di sisa perdagangan hari ini, rupiah belum menunjukkan tanda-tanda akan bangkit, sehingga berisiko membukukan pelemahan 3 hari beruntun.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,14% di Rp 14.310/US$. Setelahnya, rupiah melemah hingga 0,24% ke Rp 14.325/US$. Pada pukul 12.00 WIB, rupiah berada di Rp 14.320/US$, melemah 0,24%.
Di pasar non-deliverable forward (NDF) posisi rupiah lebih lemah siang ini ketimbang beberapa saat menjelang pembukaan perdagangan. Artinya, peluang rupiah berbalik menguat kecil.
Periode | Kurs Pukul 8:54 WIB | Kurs Pukul 11:54 WIB |
1 Pekan | Rp14.300,30 | Rp14.317,0 |
1 Bulan | Rp14.347,00 | Rp14.346,0 |
2 Bulan | Rp14.395,00 | Rp14.400,0 |
3 Bulan | Rp14.437,80 | Rp14.435,8 |
6 Bulan | Rp14.582,00 | Rp14.582,3 |
9 Bulan | Rp14.685,10 | Rp14.697,7 |
1 Tahun | Rp14.859,00 | Rp14.868,8 |
2 Tahun | Rp15.515,40 | Rp15.544,4 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Sentimen negatif datang dari China hari ini. Pemerintah China hari ini melaporkan PMI manufaktur bulan September turun menjadi 49,6 dari bulan sebelumnya 50,1.
PMI manufaktur Negeri Tirai Bambu sudah mengalami penurunan dalam 6 bulan beruntun, kali terakhir mencatat kenaikan pada Maret lalu, dengan angka indeks saat itu sebesar 51,9.
Tren tersebut hingga akhirnya mengalami kontraksi memicu kecemasan akan pelambatan ekonomi China akan kembali muncul.
Sebelumnya, Ekonom dari Goldman Sachs memangkas proyeksi produk domestik bruto (PDB) China di tahun ini menjadi 7,8% dari sebelumnya 8,4%. Pemangkasan tersebut cukup tajam, sebab China dikatakan akan menghadapi tantangan dari pembatasan konsumsi energi.
"Kendala pertumbuhan yang relatif baru berasal dari peningkatan regulasi untuk target konsumsi dan intensitas energi yang ramah lingkungan," kata ekonom Goldman Sachs dalam sebuah laporan yang dikutip CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)