
Erick Sebut Sawit Swasta Cuan, Sawit BUMN Loyo, Cek Faktanya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi keuangan PT Perkebunan Nusantara (Persero) atau PTPN Group membuat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir terheran-heran.
Ini lantaran perusahaan-perusahaan PTPN, yang sejatinya mengelola lahan perkebunan yang luas, malah mengalami tekanan keuangan dengan sempat merugi dan memiliki utang yang sangat besar. Sementara, perusahaan perkebunan swasta bisa dikatakan mencatatkan keuntungan.
Di tengah kondisi perusahaan perkebunan swasta untung, PTPN malah sibuk untuk mengurusi utangnya yang nilainya mencapai Rp 47 triliun.
"Nah yang luar biasa juga di PTPN, ini utangnya Rp 47 triliun. Padahal yang namanya industri kebun kelapa sawit, swasta tuh untung, ini malah utang ini kita perbaiki juga," kata Erick dalam webinar virtual, Selasa (28/9/2021).
Lantas, bagaimana sebenarnya perbandingan kinerja keuangan PTPN dengan perusahaan-perusahaan swasta yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI)?
Di bawah ini Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara ringkas perbandingan rapor keuangan perusahaan-perusahaan tersebut mengacu pada laporan keuangan semester I 2021 di BEI.
Adapun emiten sawit atau produsen crude palm oil (CPO) yang dimaksud adalah dua emiten Grup Salim PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP).
Kemudian, emiten Grup Sinar Mas PT Sinar Mas Agro Resources and Tech Tbk (SMAR), emiten Grup Astra PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), Grup Sampoerna PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), dan emiten Grup Triputra PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG).
Mari kita bahas satu per satu secara singkat.
SIMP
Emiten yang bergerak pada proses peningkatan nilai tambah produk agribisnis dan pemasaran produk minyak goreng ini mencatatkan perolehan laba bersih sebesar Rp 219,00 miliar pada paruh pertama tahun ini, mengalami perbaikan dari rugi bersih yang diperoleh sebesar Rp 300,81 miliar pada periode Juni 2020 lalu.
Torehan laba bersih salah satunya didongkrak oleh meningkatnya pendapatan dari kontrak dengan pelanggan yang tumbuh 30,34% pada semester pertama tahun ini menjadi Rp 8,96 triliun dari semula sebesar Rp 6,87 triliun pada enam bulan awal tahun lalu. Dengan 82,86% nya merupakan pendapatan domestik.
Pendapatan tersebut terdiri dari pendapatan CPO sebesar Rp 302,65 miliar, pendapatan inti sawit dan produk terkait sebesar Rp 582,63 miliar, minyak goreng dan lemak nabati Rp 7,46 triliun dan pendapatan lain-lain sejumlah Rp 609,54 miliar.
LSIP
LSIP melaporkan kenaikan laba bersih sebesar 445% menjadi Rp 501,22 miliar pada akhir Juni 2021, laba bersih ini naik dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mana laba perusahaan tercatat sebesar Rp 91,99 miliar.
Meskipun mengalami kenaikan laba bersih yang fantastis, pendapatan perusahaan dari kontrak dengan pelanggan hanya meningkat 39,04% menjadi Rp 2,18 triliun dari semula sebesar Rp 1,56 triliun.
Pendapatan ini ditopang oleh pendapatan CPO yang naik 34,44% menjadi Rp 1,69 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 1,25 triliun. Selanjutnya pendapatan dari inti sawit dan produk terkait sebesar Rp 354,66 miliar, pendapatan dari karet sejumlah Rp 83,23 miliar dan pendapatan lainnya sebesar Rp 52,52 miliar.
SMAR
Berkat harga CPO yang terus membaik, SMAR mampu mencatatkan perbaikan kinerja laba dengan kenaikan fantastis. Laba bersih SMAR tercatat naik 9.920% dari semula hanya sebesar Rp 10,77 miliar pada Juni 2020, kini meroket mencapai Rp 1,00 triliun pada tengah tahun ini.
Pendapatan perusahaan tercatat pun naik menjadi Rp 23,78 triliun dari semula Rp 19,07 triliun.
AALI
AALI berhasil memperoleh laba bersih senilai Rp 649,34 miliar pada semester pertama 2021, meningkat sebesar 65,69% tahun lalu Rp 391,90 miliar.
Pada 6 bulan pertama di tahun ini, emiten bersandi AALI ini tercatat membukukan pendapatan bersih senilai Rp 10,83 triliun, naik 19,28% dari semester pertama 2020 senilai Rp 9,08 triliun.
Sejalan dengan kenaikan pendapatan, beban pokok pendapatan AALI juga naik sebesar 10,81% menjadi Rp 8,61 triliun dari sebelumnya Rp 7,77 triliun.
Dengan demikian, laba bruto Astra Agro meningkat menjadi Rp 2,21 triliun dari posisi 30 Juni tahun lalu Rp 1,30 triliun.
NEXT: Masih Ada Kinerja Keuangan SGRO dan DSNG
SGRO
Pendapatan SGRO pada semester pertama 2021 meningkat 66% menjadi Rp 2,66 triliun dari semula Rp 1,60 triliun pada tengah tahun lalu.
Hal ini ikut menggenjot laba perusahaan yang terbang menjadi Rp 386,86 miliar dari sebelumnya hanya mampu mencatatkan laba Rp 971 juta, yang salah satunya diakibatkan oleh krisis awal pandemi.
DSNG
Reli harga CPO, berkontribusi terhadap peningkatan laba DSNG semester pertama tahun ini yang tercatat naik 14% menjadi Rp 207,50 miliar dari sebelumnya Rp 181,74 miliar pada posisi akhir Juni tahun lalu.
Pendapatan perusahaan tercatat mengalami kenaikan tipis menjadi Rp 3,30 triliun dari semula Rp 3,15 triliun.
Bagaimana dengan Rapor Keuangan PTPN?
Sebenarnya, kendati disebutkan Erick Thohir bahwa PTPN memiliki utang mencapai Rp 47 triliun, manajemen PTPN III menyatakan saat ini perseroan sudah berhasil menorehkan kinerja positif pada semester I tahun ini.
Tercatat laba bersih perusahaan, dalam hal ini PTPN III sebagai Holding BUMN Perkebunan, melesat 227% atau mencapai Rp 1,45 triliun dari sebelumnya rugi dalam 2 tahun terakhir.
Hanya saja, kendati mulai pulih dan mencatat laba, manajemen PTPN III menyampaikan dengan torehan ini ternyata masih banyak anak usaha yang PTPN yang masih mengalami beban secara finansial.
"Beban finansial juga beragam, PTPN yang sehat itu hanya PTPN 3, PTPN 4, dan PTPN 5, lainnya punya persoalan finansial masing-masing," jelas Dirut PTPN III, Muhammad Abdul Ghani, dalam program Squawk Box bersama Aline Wiraatmadja, CNBC Indonesia, Kamis (16/9/2021).
PTPN dan Lilitan Utang Rp 47 Triliun
Utang PTPN yang menggunung tersebut tidak hanya berasal dari kredit bank-bank Himbara (Himpunan Bank-bank Milik Negara) dan bank swasta dalam negeri, melainkan juga berasal dari bank-bank asing.
Untuk itu, dalam proses restrukturisasi utang kepada 50 bank tersebut, diharapkan PTPN bisa menunjukkan kinerjanya yang baik setelah terjadi restrukturisasi utang atas bank-bank tersebut.
Belum lama ini, Erick menyebut beban utang 'segunung' yang dicatatkan PTPN merupakan bentuk korupsi yang terselubung yang berlangsung sejak lama. Hal ini dia sampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI pada Rabu (22/9/2021) lalu.
Korupsi terselubung tersebut membuat perusahaan akhirnya terbebani utang hingga Rp 43 triliun yang mulai diperbaiki oleh manajemen baru. Sehingga aksi korupsi tersebut harus diungkap dan orang yang bertanggungjawab terhadap hal itu harus dituntut.
"Contoh di PTPN ada step-nya di mana step yang harus dilakukan ketika PTPN punya utang Rp 43 triliun dan ini merupakan penyakit lama dan kita sudah tahu dan ini suatu yang saya rasa korupsi terselubung, harus dibuka dan dituntut yang melakukan ini," kata Erick, Rabu (22/9/2021).
Lantaran tingginya beban utang in, saat ini PTPN harus melakukan restrukturisasi utang dengan nilai tertinggi yang pernah dilakukan oleh BUMN. Utang ini berupa pinjaman PTPN secara konsolidasi kepada bank dalam negeri dan asing.
Selain itu, untuk mempertahankan operasionalnya, mau tak mau perusahaan ini harus melakukan efisiensi keuangan.
Pada April 2021 lalu perusahaan ini telah menyelesaikan restrukturisasi atas utang banknya senilai kurang lebih Rp 45,3 triliun.
Restrukturisasi terakhir ini dilakukan atas kredit dari bank asing yang ditandai dengan ditandatanganinya Intercreditor Agreement (ICA) dengan seluruh 18 anggota kreditur sindikasi dolar AS dan SMBC Singapore selaku agen.
Nilai kredit yang direstrukturisasi dari bank asing ini dengan limit senilai US$ 390,60 juta atau juga dirupiahkan dengan kurs saat ini mencapai Rp 5,46 triliun (asumsi Rp 14.000/US$).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Astaga! Erick Sebut Ada Korupsi Jumbo Terselubung di PTPN