Dolar AS Terbantu Yield Treasury, Rupiah Jadi Tak Berdaya

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 September 2021 12:49
Ilustrasi Dollar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Dollar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah tertahan di zona merah melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Selasa (28/9). Kenaikan yield obligasi AS (Treasury) menjadi penopang penguatan dolar AS, meski beberapa pejabat bank sentral AS (The Fed) bersikap dovish.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.250/US$. Tidak sempat masuk ke zona hijau, rupiah terus tertahan di zona merah, pada pukul 12:00 WIB rupiah berada di Rp 14.265/US$, melemah 0,11% di pasar spot.

Di sisa perdagangan hari ini, rupiah masih sulit untuk menguat. Hal tersebut terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang siang ini tidak berbeda jauh dengan beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi.

PeriodeKurs Pukul 8:54 WIBKurs Pukul 11:54 WIB
1 PekanRp14.252,50Rp14.249,5
1 BulanRp14.283,80Rp14.295,0
2 BulanRp14.334,80Rp14.342,0
3 BulanRp14.374,70Rp14.385,5
6 BulanRp14.531,50Rp14.531,0
9 BulanRp14.690,70Rp14.676,0
1 TahunRp14.841,50Rp14.796,0
2 TahunRp15.450,10Rp15.348,0

NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.

Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.

Yield Treasury AS naik lagi pada hari ini dan kembali ke atas level 1,5%, tertinggi dalam 3 bulan terakhir. Kenaikan tersebut mengerek dolar AS rupiah pun mengalami tekanan. Yield Treasury AS masih menanjak meski banyak anggota The Fed yang bersiap dovish.

Presiden The Fed wilayah Chicago yang juga masuk dalam anggota Federal Open Market Committe (FOMC) yang membuat kebijakan moneter kemarin mengatakan suku bunga baru akan dinaikkan pada akhir 2023.

Evans menjadi salah satu anggota FOMC yang bersikap dovish. Ia melihat, inflasi yang tinggi saat ini hanya bersifat sementara, dan baru akan cukup tinggi dan stabil guna menjadi alasan untuk menaikkan suku bunga pada akhir 2023.

"Saya memasukkan proyeksi di waktu yang seharusnya.... Menaikkan suku bunga di 2023," kata Evans merujuk pada Fed dot plot yang dirilis pada Kamis lalu, sebagaimana dikutip Reuters Senin (27/9).

Sementara itu Gubernur The Fed Lael Brainard mempertegas jika tapering tidak ada kaitannya dengan suku bunga. Artinya saat tapering resmi selesai, diperkirakan pada pertengahan tahun depan, bukan berarti suku bunga akan segera dinaikkan.

"Panduan ke depan untuk target tenaga kerja maksimum dan rata-rata inflasi jauh lebih tinggi agar bisa menaikkan suku bunga, ketimbang melakukan tapering. Saya akan menekankan, waktu kenaikan suku bunga tidak bisa dikaitkan dengan pengumuman tapering," kata Brainard.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular