Analisis

Asing 'Kerasukan' Saham Big Cap-Bank Kakap, Sinyal Apa Ini?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
28 September 2021 13:10
Layar Pergerakan Saham
Foto: Layar pergerakan perdagangan saham di gedung Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah penguatan tipis Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), investor asing terus mengoleksi saham-saham big cap (berkapitalisasi pasar besar) dan bank besar sejak awal tahun ini.

Dari lima besar saham blue chip (unggulan) yang paling banyak diborong asing, tiga di antaranya merupakan saham bank gede.

Dalam riset teranyarnya pada 9 September 2021, Mirae Asset Sekuritas Indonesia tetap mempertahankan bobot overweight untuk sektor perbankan Tanah Air, di tengah kinerja saham bank raksasa yang cenderung loyo secara year to date (ytd).

Sebagai informasi, bobot overweight biasa diartikan sebagai saham yang diperkirakan kenaikannya bisa melebihi sekumpulan saham yang menjadi patokannya di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Menurut data BEI hingga awal perdagangan Selasa (29/9), IHSG naik tipis 0,25% secara ytd ke posisi 6.119,90. Sementara, indeks saham blue chip LQ45 merosot 10,12% sejak awal tahun.

Lantas, emiten apa saja yang paling banyak dibeli asing secara ytd?

Berikut 5 besar saham big cap dengan nilai beli bersih (net buy) asing tertinggi sejak awal tahun, berdasarkan data BEI, Selasa (28/9), pukul 10.45 WIB.

  1. Telkom Indonesia (TLKM), saham ytd +6,04%, ke Rp 3.510/saham, net buy Rp 6,7 T

  2. Bank Rakyat Indonesia (BBRI), -7,85%, ke Rp 3.710/saham, net buy Rp 5,9 T

  3. Bank Central Asia (BBCA), -3,69%, ke Rp 32.600/saham, net buy Rp 3,5 T

  4. Bank Mandiri (BMRI), -5,14%, ke Rp 6.000/saham, net buy Rp 1,3 T

  5. Kalbe Farma (KLBF), -5,74%, ke Rp 1.395/saham, net buy Rp 1,1 T

Dari 5 saham di atas, seiring masuknya dana asing, empat saham malah ambles, sementara hanya saham emiten telekomunikasi BUMN TLKM yang berhasil melesat 6,04%.

Saham TLKM pun menjadi yang paling banyak diborong asing secara ytd, yakni Rp 6,07 triliun. Market cap TLKM tercatat Rp 348,70 triliun saat ini, berada di posisi ketiga di bawah saham BBCA (Rp 804,75 triliun) dan BBRI (Rp 564,86 triliun).

Besarnya minat investor asing ke saham TLKM memang cukup beralasan, lantaran emiten ini memiliki fundamental yang baik dan prospek yang cerah. Apalagi, Telkom menjadi 'raja' pasar telekomunikasi di Tanah Air saat ini.

Telkom terbilang aktif sepanjang tahun ini. Saat ini, TLKM sedang melakukan transformasi digital dalam menjadi digital telco. Adapun fokus kerja Telkom di ranah bisnis digital dilakukan melalui tiga domain utama perusahaan yaitu digital connectivity, digital platform, dan digital services.

Selain itu, kabar terbaru, bersama SoftBank Ventures Asia (SBVA) dan investor lainnya, TLKM lewat MDI Ventures, ikut berpartisipasi dalam pendanaan Seri A senilai US$ 30 juta atau setara dengan Rp 443,2 miliar (asumsi kurs Rp 14.400/US$) terhadap startup fintech OY! Indonesia.

Mengenai kinerja keuangan, TLKM mencatatkan perolehan laba bersih sebesar Rp 12,45 triliun pada semester pertama 2021, meningkat 13,30% dari periode yang sama tahun lalu dimana perusahaan memperoleh laba bersih sebesar Rp 10,99 triliun.

Sementara, sepanjang enam bulan pertama tahun ini, pendapatan Telkom tercatat sebesar Rp 69,48 triliun, naik tipis 3,92% secara tahunan dari posisi Juni 2020 lalu yang berada di angka Rp 66,85 triliun.

Trio Bank Kakap

Di bawah saham TLKM, ada trio saham bank jumbo, BBRI, BBCA, dan BMRI. Ketiganya banyak diborong asing, kendati mencatatkan kinerja saham yang negatif secara ytd.

Saham bank pelat merah BBRI mencatatkan nilai beli bersih asing Rp 5,9 triliun, tetapi sahamnya turun 7,85% ke Rp 3.710/saham. Setali tiga uang, saham bank Grup Djarum BBCA juga merosot 3,69%, di tengah net buy Rp 3,5 triliun.

Tidak ketinggalan, saham bank BUMN lainnya BMRI juga dibanjiri dana asing dengan nilai net buy Rp 1,3 triliun sejak awal tahun. Namun, saham BMRI malah tergerus 5,14% ke Rp 6.000/saham.

Sebenarnya, terdapat sejumlah katalis positif untuk ketiga saham bank ini. BBRI, misalnya, baru saja mencatatkan aksi korporasi penambahan modal melalui penerbitan saham baru dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue terbesar di Asia Tenggara.

Dengan nilai transaksi yang mencapai Rp 96 triliun, menjadikan rights issue BBRI terbesar dalam sejarah pasar modal Indonesia dan tercatat tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Kemudian, BBCA yang resmi akan melakukan aksi korporasi pemecahan saham yang beredar (stock split). Aksi korporasi tersebut telah mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang diadakan, Kamis (23/9/2021).

RUPSLB tersebut memberikan persetujuan atas aksi korporasi stock split dengan rasio 1: 5 (1 saham yang ada saat ini dipecah menjadi 5 saham baru). Nilai nominal per saham BBCA saat ini adalah Rp 62,5, sedangkan nilai nominal per saham BBCA setelah stock split akan menjadi sebesar Rp 12,5.

Apabila mengacu pada harga saat ini di Rp 32.625/saham, setelah stock split saham BBCA akan dibanderol di harga Rp 6.525/saham.

NEXT: Kenapa Saham Bank Overweight?

Mengenai rapor keuangan, kinerja fundamental ketiga bank tersebut terbilang positif.

BBRI mencetak laba bersih sebesar Rp 12,47 triliun di semester I-2021, atau naik 22,49% secara tahunan dari periode yang sama tahun lalu Rp 10,18 triliun.

Laba bersih tersebut ditopang oleh pertumbuhan pendapatan bunga bersih 29,15% secara tahunan menjadi Rp 47,14 triliun dari periode yang sama tahun lalu Rp 36,50 triliun.

Kemudian, BBCA berhasil mencatatkan laba bersih sebesar Rp 14,5 triliun di semester I-2021, atau naik 18,1% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp 12,24 triliun. Pendapatan bunga bunga bersih tumbuh 5,8% menjadi Rp 28,27 triliun. Pendapatan non bunga turun -1,2% yoy (year on year) menjadi Rp 10,2 triliun.

Bank Mandiri juga mencatatkan kinerja finansial yang positif di akhir Juni 2021. Ini terlihat dari pencapaian laba bersih tumbuh 21,45% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp 12,5 triliun dari periode yang sama tahun lalu Rp 10,29 triliun.

Kenaikan laba bersih ini terutama disokong oleh pertumbuhan pendapatan bunga bersih sebesar 21,50% YoY menjadi Rp 35,16 triliun, serta pertumbuhan pendapatan berbasis jasa (fee based income) sebesar 17,27% YoY menjadi Rp 15,94 triliun.

Bobot Overweight untuk Sektor Perbankan

Sementara itu, Mirae Asset Sekuritas tetap memberikan bobot overweight untuk sektor perbankan RI, di tengah kontraksi pertumbuhan kredit, pertumbuhan deposit (dana pinjaman) yang cenderung mendatar (flat), dan persentase kredit macet (non-performing loan/NPL) yang kembali meninggi pada Juli 2021.

"Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih ketat pada bulan Juli telah menghambat bisnis dalam negeri yang membuat permintaan pinjaman melemah, menurut pandangan kami," jelas Mirae dikutip CNBC Indonesia, Selasa (28/9/2021).

Asal tahu saja, data Bank Indonesia (BI) bulan Juli menunjukkan kontraksi pinjaman sebesar 0,3% secara bulanan (month on month/MoM) (tetapi naik 0,5% secara tahunan/YoY), setelah naik sebesar 1,2% MoM pada Juni.

Kemudian, pertumbuhan deposit mendatar secara MoM, meskipun masih meningkat dua digit secara YoY (+0.0% MoM, +10.4% YoY).

Lebih lanjut, NPL naik tipis menjadi 3,3% di bulan Juli, dari sebelumnya 3,2% di bulan Juni.

"Pandemi yang sedang berlangsung dan pembatasan aktivitas yang ketat berkontribusi pada kualitas pinjaman yang memburuk, menurut pandangan kami. Oleh karena itu, kami pikir biaya provisi di sektor perbankan akan tetap tinggi setidaknya sampai Agustus tetapi akan mulai mereda pada bulan September," kata Mirae.

Mirae melanjutkan, keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperpanjang periode restrukturisasi pinjaman untuk satu tahun lagi hingga Maret 2023 akan membantu menjaga stabilitas industri perbankan dan momentum pemulihan ekonomi nasional.

"Kami yakin pertumbuhan kredit akan tetap rendah di 3Q21 [kuartal III 2021] setelah penerapan PPKM yang lebih ketat sejak Juli hingga Agustus. Pelonggaran PPKM mulai bulan ini dan perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit hingga Maret 2023 adalah katalis positif utama bagi sektor perbankan," jelas Mirae.

Dengan mempertimbangkan penjelasan tersebut, broker asal Korea Selatan (Korsel) ini tetap mempertahankan bobot Overweight di sektor perbankan.

Saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) menjadi saham pilihan utama Mirae seiring turnaround pendapatan yang tinggi pada tahun 2021, dengan rekomendasi beli di harga target Rp 6.790/saham.

Selain itu, saham pilihan lainnya, adalah BMRI dengan rekomendasi beli di target price (TP) Rp 8.230/saham, seiring konsolidasi PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) yang dinilai akan mendorong pertumbuhan kredit dan pendapatan BMRI.

"Sementara itu, peluncuran super app Livin' 2.0 pada akhir tahun ini juga akan membawa BMRI menjadi yang terdepan dalam dunia digital persaingan perbankan, terutama terhadap pemain baru," pungkas Mirae.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular