
Ibarat Drakula, Treasury AS Hisap Darah Rupiah sampai Lemas

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Selasa (28/9). Yield obligasi AS (Treasury) yang terus menanjak membuatnya "menghisap darah" rupiah yang berasal dari pasar obligasi dalam negeri.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.250/US$, kemudian melemah 0,11% ke Rp 14.265/US$.
Berselang 15 menit kemudian, rupiah kembali stagnan.
Yield Treasury tenor 10 tahun yang sempat mencapai 1,516%, tertinggi sejak 28 Juni lalu. Di akhir perdagangan, yield obligasi yang menjadi acuan ini berada di 1,4906%.
Yield Treasury sudah naik dalam 3 hari beruntun dengan total 18,66 basis poin. Kenaikan yang cukup tajam dan membuat Surat Berharga Negara (SNB) tertekan.
Yield SBN tenor 10 tahun pagi ini naik 3,4 basis poin ke 6,278.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield naik artinya harga turun, begitu juga sebaliknya. Ketika harga turun berarti ada aksi jual, dan bisa jadi oleh investor asing. Artinya terjadi capital outflow dari pasar obligasi Indonesia. Hal tersebut membuat tenaga rupiah untuk menguat menjadi berkurang.
Sementara itu dolar AS juga masih belum begitu perkasa, sebab para pejabat elit The Fed yang bersikap dovish mulai buka suara.
Presiden The Fed wilayah Chicago yang juga masuk dalam anggota Federal Open Market Committee (FOMC) yang membuat kebijakan moneter kemarin mengatakan suku bunga baru akan dinaikkan pada akhir 2023.
Evans menjadi salah satu anggota FOMC yang bersikap dovish. Ia melihat, inflasi yang tinggi saat ini hanya bersifat sementara, dan baru akan cukup tinggi dan stabil guna menjadi alasan untuk menaikkan suku bunga pada akhir 2023.
"Saya memasukkan proyeksi di waktu yang seharusnya.... Menaikkan suku bunga di 2023," kata Evans merujuk pada Fed dot plot yang dirilis pada Kamis lalu, sebagaimana dikutip Reuters Senin (27/9).
Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.
Dalam dot plot yang terbaru, sebanyak 9 orang dari 18 anggota FOMC kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.
Evans menjadi salah satu yang proyeksinya tidak berubah, yakni di 2023.
Sementara itu Gubernur The Fed Lael Brainard mempertegas jika tapering tidak ada kaitannya dengan suku bunga. Artinya saat tapering resmi selesai, diperkirakan pada pertengahan tahun depan, bukan berarti suku bunga akan segera dinaikkan.
"Panduan ke depan untuk target tenaga kerja maksimum dan rata-rata inflasi jauh lebih tinggi agar bisa menaikkan suku bunga, ketimbang melakukan tapering. Saya akan menekankan, waktu kenaikan suku bunga tidak bisa dikaitkan dengan pengumuman tapering," kata Brainard.
Pasca pernyataan tersebut indeks dolar AS tidak banyak bergerak, hanya mampu menguat tipis 0,08% kemarin, yang memberikan ruang penguatan bagi rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
