Dolar AS di Antara Tapering-Evergrande, Rupiah Menguat Tipis

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Senin, 27/09/2021 15:23 WIB
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah lagi-lagi berfluktuasi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (27/9). Pergerakan yang sama terjadi pada Kamis dan Jumat pekan lalu pascapengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed).

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,11% ke Rp 14.240/US$. Rupiah kemudian berbalik melemah 0,04% ke Rp 14.260/US$. Setelahnya rupiah bergerak di kisaran wilayah tersebut hingga penutupan perdagangan.

Di akhir, rupiah berada di Rp 14.250/US$, menguat 0,04% di pasar spot, melansir data Refinitiv.


Jika dilihat pengumuman The Fed pada pekan lalu, dolar AS seharusnya sangat diuntungkan. Ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan segera dilakukan.

Selain itu, The Fed kini memproyeksikan suku bunga akan naik di tahun depan, lebih cepat dari proyeksi sebelumnya di 2023.

Dengan kondisi tersebut, skenario yang bisa terjadi The Fed melakukan tapering pertama di bulan Desember, selesai pada pertengahan tahun depan, dan suku bunga di akhir 2023.

Melihat skenario tersebut dolar AS seharusnya sangat perkasa, tetapi saat ini justru masih biasa-biasa saja. Hal tersebut bisa menjadi indikasi, tapering hingga normalisasi suku bunga The Fed tidak akan ngeri seperti tahun 2013.

Sementara itu, bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) lagi-lagi menyuntikkan likuiditas di sistem perekonomian yang membuat sentimen pelaku pasar membaik.

PBoC pada hari ini menyuntikkan likuiditas sebesar 100 miliar yuan (US$ 15,47 miliar) atau sekitar Rp 220 triliun ke perekonomian. Dengan demikian sejak pekan lalu, total bank sentral China ini menyuntikkan likuiditas sebesar miliar yuan, terbesar sejak Januari lalu.

Suntikan likuiditas yang dilakukan PBoC guna menenangkan pasar yang dibuat cemas akibat masalah krisis utang raksasa properti China, Evergrande Group.

"Injeksi dari PBOC mungkin bertujuan untuk meredakan kekhawatiran di pasar akibat Evergrande. Namun di samping itu ada juga kebutuhan untuk mencegah dampak ke ekonomi dan sektor lain," ujar Analis dari DBS Bank Singapura, Eugene Leow.

Evergrande Group yang berisiko gagal bayar membuat sentimen pelaku pasar memburuk di awal pekan lalu. Hingga saat ini, investor masih menanti perkembangan kasus Evergrande yang harus membayar bunga obligasi jatuh tempo berdenominasi dolar AS pada Kamis pekan lalu senilai US$ 83 juta. Total utang Evergrande dilaporkan sebesar US$ 305 miliar.

"Dolar AS masih terjebak antara persimpangan The Fed yang hawkish dan meredanya kecemasan akan potensi default Evergrande," kata analis Commonwealth Bank of Australia dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International. 

Pelaku pasar juga menanti lebih banyak detail tapering dan suku bunga dari 3 pejabat elit The Fed hari ini.

Presiden The Fed wilayah Chicago, Charles Evans, akan berbicara mengenai kondisi ekonomi dan kebijakan moneter dalam acara yang diselenggarakan oleh National Association for Business Economics. Gubernur The Fed Lael Brainard, juga berbicara dalam acara tersebut.

Kemudian ada Presiden The Fed wilayah New York, yang akan berbicara dalam acara yang diselenggarakan Economic Club of New York.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS