Obsesi Xi Jinping 'Buang' Batu Bara, Ada Apa dengan China?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
25 September 2021 19:40
Xi Jinping. (REUTERS/Jason Lee)
Foto: Xi Jinping. (REUTERS/Jason Lee)

Jakarta, CNBC Indonesia - Komoditas tambang batu bara tampaknya memiliki masa depan yang semakin suram. Banyak negara yang mulai meninggalkannya termasuk juga China.

Di hadapan Majelis Umum PBB pada Selasa (22/09/2021) malam waktu New York, AS, Presiden China Xi Jinping menyampaikan pengumuman yang menghantam industri fosil, khususnya batu bara.

Dia yang juga menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis China itu membuat komitmen baru terkait kebijakan iklim. Xi menegaskan jika China tidak akan lagi membangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di luar negeri.

China sebelumnya berinvestasi pada proyek PLTU di beberapa negara berkembang, salah satunya Indonesia. Menurutnya China juga akan mempercepat upaya untuk menjadi "neutral karbon" di 2060.

"Kami akan melakukan segala upaya untuk mencapai tujuan ini," ujarnya dalam pidato yang direkam sebelumnya dikutip dari AFP.

Semenjak Mantan Presiden AS Donald Trump memutuskan keluar dari Perjanjian Paris, China mulai mengambil peran signifikan dalam upaya masyarakat dunia meredam pemanasan Global.

Sehingga keputusan yang diambil ini sejalan dengan ambisi China memimpin upaya adopsi energi terbarukan. Joe Biden, pengganti Trump, telah membalikkan keputusan Trump dan kembali bergabung, namun dominasi China belum bisa diruntuhkan.

Kebijakan baru Xi Jinping dan pemerintah China tersebut tentu mendapat dukungan dari berbagai negara dan menumbuhkan optimisme masyarakat dunia.

Pada Juni 2021, International Renewable Energy Agency (IRENA) telah menandatangani nota kesepakatan baru dengan Kementerian Ekologi dan Lingkungan China untuk mempromosikan netralitas karbon melalui energi terbarukan.

Kerja sama ini akan memusatkan percepatan pengembangan energi terbarukan yang memungkinkan janji China untuk mencapai puncak emisi karbon sebelum tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon sebelum 2060.

"China adalah mitra dekat dalam mempercepat transisi energi terbarukan secara nasional dan juga di seluruh dunia", kata Francesco La Camera, Direktur Jenderal IRENA, dalam keterangan resmi.

China menjadi pemimpin dalam pemanfaatan energi terbarukan global. Di tahun 2020 dengan hampir 85 GW, China mewakili lebih dari 40% dari total sebaran energi terbarukan global. Saat ini, Cina menyumbang hampir sepertiga dari kapasitas energi terbarukan yang terpasang di seluruh dunia.

Lebih Ekstrem, Perbankan Global Tak Mau Lagi Danai Energi Fosil

Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi mendanai proyek yang berkaitan dengan eksplorasi atau produksi tambang batu bara, minyak bumi dan gas alam di dunia.

Hal ini disampaikan melalui draft pernyataan kebijakan yang dirilis pada awal Mei 2021. Kelompok penggiat lingkungan menyambut baik langkah yang diambil oleh ADB ini.

Mengutip dari Reuters yang melansir The Straits Times, dua organisasi lingkungan menuding ADB telah mengucurkan US$ 4,7 miliar atau setara dengan Rp 68,15 triliun (kurs rata-rata 14.500) untuk mendanai proyek energi fosil khususnya gas alam sejak diterapkannya Perjanjian Iklim di Paris pada akhir 2015.

ADB mengkonfirmasi angka penyaluran kredit US$ 4,7 miliar tersebut, tetapi menegaskan bahwa sebagian besar pembiayaan energi selama 2015-2020 dialokasikan untuk sumber energi terbarukan dan pengembangan jaringan infrastruktur.

Tujuan pelaksanaan program ini adalah untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil di Asia, khususnya untuk mendorong peralihan dari pembangkit listrik yang tidak ramah lingkungan berbahan bakar batu bara.

Zhai Yongping, Kepala Grup Sektor Energi ABD mengatakan 60% dari total pembangkit listrik di Asia berasal dari pembakaran batu bara.

Menurutnya penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara dan menggantinya dengan energi terbarukan. Ada beberapa kasus terbatas yang digantikan dengan gas alam yang lebih efisien dan emisinya rendah.

Dia memaparkan dari 2009-2019, pembiayaan energi bersih ADB mencapai US$ 23 miliar (Rp 333 triliun), dan targetnya mencapai US$ 80 miliar (Rp 1.160 triliun) untuk pembiayaan iklim secara kumulatif dari tahun 2019 hingga 2030.

Tidak hanya ADB yang konsen pada masalah lingkungan ini, namun ada juga UBS yang melakukan penurunan pembiayaan terhadap bisnis bahan bakar fosil hingga 73%, dari US$ 7,7 miliar (Rp 111,65 triliun) pada tahun 2016 menjadi US$ 2,1 miliar (Rp 30,45 triliun) pada tahun 2020, menurut analisis CNBC Make It.

Bank investasi asal Swiss tersebut adalah "bagian dari proses multi-tahun untuk mengurangi paparan aset terkait karbon dan mengembangkan metodologi yang memungkinkan penyampaian aspek penilaian iklim yang lebih kuat dan transparan," kata juru bicara UBS, dilansir CNBC Make It.

Pada akhir tahun 2020, 1,9% dari neraca perbankan UBS memiliki "paparan terhadap aset terkait karbon," turun dari 2,3% pada akhir 2019 dan 2,8% pada akhir 2018.

Sedangkan di tingkat regional, baru-baru ini juga Malayan Banking Berhad atau Maybank memutuskan akan menghentikan pembiayaan untuk aktivitas pertambangan batu bara.

Pada 2025, Maybank berencana mengalokasikan RM 50 miliar atau setara Rp 170 triliun (kurs Rp 3.400/RM) dalam upaya mendorong pembiayaan berkelanjutan. Dana ini digunakan untuk meningkatkan kehidupan satu juta rumah tangga di seluruh ASEAN.

Tahun lalu, pesaing Maybank, CIMB Group Holdings Bhd, juga telah berkomitmen untuk menghapus batu bara dari portofolionya per 2040. CIMB mengklaim menjadi grup perbankan pertama di Malaysia dan Asia Tenggara yang melakukan penghentian pembiayaan batu bara (*)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular