
Ramai Fintech Bodong, 80% Bank RI Genjot Literasi Keuangan!

Jakarta, CNBC Indonesia - Studi terbaru yang dilakukan oleh lembaga riset perbankan dan keuangan, Backbase, melalui Forrester Consulting mengungkapkan bahwa sekitar 80% perbankan di Indonesia berencana untuk mengeksekusi atau memperluas literasi keuangan sebagai layanan konsumen selama 12 bulan ke depan.
Upaya perbankan tersebut akan menjadikan target bank-bank RI ini sebagai yang tertinggi kedua di Asia Pasifik.
Latar belakang gencarnya literasi keuangan ini salah satunya karena pertumbuhan layanan fintech (financial technology) ilegal yang marak ditambah dengan rendahnya literasi masyarakat,.
Menurut studi tersebut jumlah penggunaan ponsel cerdas untuk mengakses kebutuhan perbankan di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi, mencapai 75%.
Sebagian besar pengguna didominasi oleh anak muda dan menunjukkan adanya peningkatan permintaan akan layanan digital melalui perangkat seluler seperti layanan tabungan dan penganggaran, analisis pengeluaran, dan pembayaran utang otomatis.
Backbase Regional APAC (Asia Pacific) Vice President, Iman Ghodosi, mengatakan pihaknya meyakini bahwa bank saat ini menjadi lebih memperhatikan keputusan keuangan nasabah mereka dan bank akan mendorong pelaksanaan literasi keuangan dengan sebaik-baiknya untuk menjamin kebutuhan nasabah.
"Ini adalah momen yang sangat menarik bagi sektor perbankan digital. Berdasarkan pengalaman kami, ketika persaingan memanas, bank akan menemukan cara yang lebih baik untuk membuat nasabah mereka tetap tertarik dengan layanan yang ditawarkan," kata Ghodosi, dalam keterangannya, Jumat (24/9).
"Ada juga masalah sosial yang lebih luas seperti literasi dan inklusi keuangan yang secara aktif ditangani oleh bank," katanya.
Dia mengatakan, sebagai contoh, sebuah penelitian baru-baru ini mengungkapkan bahwa 58% bank di Indonesia berencana untuk meningkatkan pengeluaran mereka untuk program kesehatan keuangan selama 12 bulan ke depan.
Selain itu sebanyak 94% dari sektor perbankan berencana atau secara aktif memperluas pengelolaan uang digital dan layanan kesehatan keuangan mereka untuk nasabah.
Ada juga inisiatif yang lebih besar untuk mendorong pertumbuhan industri perbankan digital mengikuti aturan perbankan terbaru di Indonesia yang memungkinkan mayoritas kepemilikan asing atas perusahaan pemberi pinjaman lokal.
"Semakin penting untuk memiliki hubungan dengan pelanggan Anda agar tetap menjadi yang terdepan di era engagement banking saat ini," kata Ghodosi.
"Cara kerja yang relevan terhadap masa depan ini menekankan pendekatan one-platform untuk sektor perbankan. Cara ini sepenuhnya merancang ulang sistem perbankan untuk berfokus pada nasabah, menjauh dari investasi teknologi yang terisolasi satu sama lainnya."
Backbase juga mengutip data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang memblokir hampir 450 penyedia teknologi keuangan (fintech) ilegal di paruh pertama tahun 2021.
Hal ini telah membuat literasi keuangan yang rendah menjadi sorotan nasional, menunjukkan betapa rentannya nasabah yang tidak siap.
Ghodosi menekankan bahwa literasi keuangan yang rendah telah menjadi penghalang terbesar untuk mencapai inklusi keuangan.
"Bank ingin melindungi nasabah mereka yang rentan, menjaga mereka lebih lama, dan membantu mencegah beberapa aktivitas ilegal yang terjadi di industri keuangan."
Visi ini didukung oleh temuan terbaru Backbase yang menunjukkan bahwa bank telah berfokus pada usaha untuk mempertahankan dan melindungi nasabah mereka melalui kemajuan dalam kecerdasan buatan dan analisa data.
Dari para pengambil keputusan bisnis perbankan ritel Indonesia yang diwawancarai, ditemukan sejumlah hasil, yakni 68% pelaku perbankan RI mengatakan bahwa aspek penting dalam aplikasi kesehatan keuangan yakni mencegah eksploitasi nasabah yang rentan dan lebih tua.
Sebanyak 66% percaya bahwa mengidentifikasi risiko kerentanan dan kesulitan keuangan pada nasabah mereka adalah penting dan 76% ingin mendorong nasabah untuk membangun kebiasaan finansial yang lebih baik untuk masa depan yang sukses.
Backbase juga menyatakan, keberhasilan di era engagement banking bukan berarti tanpa tantangan bagi sektor perbankan.
Studi baru menemukan bahwa 66% pengambil keputusan pada perbankan ritel merasa bahwa teknologi yang ketinggalan zaman adalah penghalang terbesar untuk melaksanakan transformasi.
Sekat-sekat organisasi dan prioritas yang bersaing juga menjadi penghalang ketika mencoba menerapkan platform perbankan digital yang relevan terhadap masa depan.
"Bank perlu mengatasi tantangan ini secepat mungkin, karena siapa pun yang berhasil terlebih dahulu akan memiliki keunggulan kompetitif yang jelas dibandingkan yang lain," kata Ghodosi.
"Aspek lain yang terkadang terlupakan dalam proses ini adalah banyaknya peluang pengumpulan data yang tersedia."
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 64% Perusahaan Fintech Rentan Kena Kasus Hukum & Gulung Tikar
