
Unit Link 'Digempur' Banyak Masalah, Cek Fakta Sebenarnya

Sepanjang semester I-2021, tingkat pertumbuhan premi asuransi tradisional (murni proteksi) justru berhasil mengalahkan pertumbuhan premi unit link, atau produk asuransi berbalut investasi.
Berdasarkan data dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), premi asuransi tradisional berhasil tumbuh 18,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) di 6 bulan tahun ini, sedangkan premi unit link tumbuh sedikit di bawahnya yakni 17% YoY.
Meski pertumbuhannya lebih tinggi, namun secara angka pertumbuhan premi asuransi tradisional tak terlalu besar.
Pada akhir Juni 2021 lalu, nilai preminya senilai Rp 40,27 triliun, tumbuh dari Rp 33,99 triliun di akhir periode yang sama tahun sebelumnya.
Sedangkan unit link tumbuh menjadi Rp 64,44 triliun dari sebelumnya Rp 55,1 triliun di akhir Juni 2020.
Di asuransi memang dikenal produk asuransi jiwa murni atau tradisional dan asuransi jiwa sekaligus investasi atau unit link di mana keduanya memiliki kelebihan masing-masing.
Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon mengatakan lebih tingginya pertumbuhan premi asuransi jiwa tradisional ini disumbang dari berkembangnya kanal distribusi alternatif yang saat ini sudah memanfaatkan kanal digital, marketing dan bekerjasama dengan badan usaha.
Selain itu, terdapat dugaan bahwa tingginya asuransi tradisional ini didominasi oleh asuransi kesehatan. Ini tak lepas dari kondisi pandemi yang membangun kesadaran masyarakat pentingnya asuransi bagi masa depan.
"Rasanya pembedaan terlalu tipis untuk mulai terjadi peralihan minat dari unit link ke tradisional, memang porsi unit link sudah di atas 60%," kata Budi dalam konferensi pers AAJI, 14 September lalu.
Secara keseluruhan, pendapatan premi asuransi jiwa sepanjang tahun lalu tumbuh 17,5% YoY. Dengan total premi mencapai Rp 104,72 triliun, tumbuh dari Rp 89,09 triliun di akhir semester I-2020.
Adapun produk unit link berkontribusi hingga 62% dari total premi tersebut atau senilai Rp 64,44 triliun. Sedangkan sisanya 38% adalah asuransi tradisional atau senilai Rp 40,27 triliun.
Aduan
Di samping jumlah pemegang polis unit link yang turun drastis di tahun lalu, banyak juga yang melakukan menyampaikan aduan, baik melalui kanal aduan OJK, bahkan hingga mengeluh di media sosial.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2A OJK, Ahmad Nasrullah menyebutkan OJK telah melakukan tindak lanjut dengan memanggil perusahaan yang terkait dengan aduan dari para pemegang polis ini. Pemanggilan ini dilakukan untuk klarifikasi atas apa yang terjadi pada nasabah perusahaan asuransi jiwa terkait.
"Ternyata pengaduan di medsos saat diklarifikasi tidak semua benar. Yang pemegang polis hanya 10% sisanya hanya ikut meramaikan," katanya.
"Ini mungkin karena efek media, apalagi setelah dicek perusahaan asuransi beberapa cuma ikut-ikutan. Kalau beberapa kasus memang ada kesalahan agen. Ketika terbukti kesalahan agen, harus ganti. Ke depan bisa diperbaiki. Kami mohon berimbang melihat hal ini," ungkapnya.
Untuk itu, OJK meminta kepada calon nasabah asuransi untuk paham seluk beluk asuransi. Tak hanya melihat dari sisi risiko kenaikan alias keuntungan yang didapatkan, namun harus mengetahui secara keseluruhan, termasuk jika agen hanya menjelaskan terkait hal yang baik saja.
"Jadi ini memang strategi pemasaran, dari sisi dia menguntungkan jual produk asuransi. Nasabah harus bawel di awal. Jangan yang untung-untungnya saja," pungkasnya.
Hingga kuartal I-2021, OJK mencatat terdapat 273 aduan yang disampaikan ke OJK berkaitan dengn PAYDI.
Sedangkan sepanjang 2020, sebanyak 593 aduan disampaikan. Angka ini juga lebih tinggi dibanding dengan aduan di 2019 yang sebanyak 230 aduan.
Terdapat empat kelompok aduan yang disampaikan secara garis besar menurut catatan OJK. Mulai dari layanan asuransi yang dinilai tidak sesuai dengan penawaran hingga susahnya klaim.
Aduan tersebut yakni produk layanan asuransi yang tidak sesuai dengan penawaran atau miss selling, penurunan hasil investasi dari produk PAYDI, permintaan pengembalian premi yang sudah dibayarkan secara penuh, dan kesulitan melakukan klaim, padahal polisnya sudah jatuh tempo.
Sebelumnya berdasarkan temuan dari OJK, ada beberapa perusahaan asuransi yang memasarkan produknya dengan metode multi level marketing (MLM).
"Proses pemasaran yang menggunakan metode MLM, jadi agen merekrut agen dan seterusnya," kata Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Agus Zam, dalam konferensi pers AAJI, belum lama ini.
"Pelaku usaha harus memastikan agen tidak meminta konsumen menandatangani formulir pengajuan asuransi dalam keadaan kosong. Proses penawarannya harus terdokumentasikan dengan baik," ungkapnya.
(tas/tas)[Gambas:Video CNBC]
