Jakarta, CNBC Indonesia - Tercatat setidaknya ada 2 emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang akan berencana melakukan pemecahan nilai nominal saham (stock split) dalam waktu dekat.
Kedua emiten tersebut adalah perbankan Grup Djarum PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan emiten media milik pengusaha Eddy Kusnadi Sariaatmadja yang tergabung dalam Grup Emtek, PT Surya Citra Media Tbk (SCMA).
Keduanya akan menjadi emiten ketujuh dan kedelapan yang bakal melakukan stock split pada tahun ini, setelah yang teranyar emiten teknologi PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA) melakukan stock split pada 2 September 2021.
Menurut keterbukaan informasi di BEI, BBCA berencana melakukan stock split dengan rasio 1:5. Untuk memuluskan aksi korporasi tersebut, BCA akan menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Kamis (23/9) besok.
"Dalam rapat ini akan diusulkan pemecahan saham perseroan dengan rasio 1:5 sehingga nilai nominal saham Perseroan yang semula adalah Rp 62,5 per saham akan menjadi Rp 12,5 per saham," tulis pengumuman yang disampaikan Direksi BCA, Rabu (1/9/2021).
Nantinya, saham BBCA akan diperdagangkan di harga sekitar Rp 5.950/unit.
Manajemen BCA menyampaikan, pemecahan saham perseroan bertujuan untuk meningkatkan likuiditas perdagangan saham perseroan di Bursa Efek Indonesia dan harga saham Perseroan menjadi lebih terjangkau bagi para investor ritel termasuk demografi investor muda, sehingga diharapkan akan meningkatkan jumlah pemegang saham perseroan.
Setelah memperoleh persetujuan dari para pemegang saham, BCA akan berkoordinasi dengan BEI untuk memproses stock split yang diperkirakan akan terjadi pada bulan Oktober 2021.
Menyusul BBCA, SCMA juga akan melakukan stock split dengan rasio 1:5 dengan meminta restu para pemegang saham lewat RUPSLB pada Rabu, 13 Oktober 2021 mendatang di Studio SCTV, Senayan City .
"Rapat akan membahas dan memutuskan atas rencana perubahan nilai nominal saham perseroan yang nilai awalnya adalah Rp 50 menjadi Rp 10 per saham," ungkap Direksi SCMA, dikutip CNBC Indonesia Selasa (21/9).
Dengan asumsi harga saham SCMA di level Rp 2.150, maka kemungkinan nanti setelah dipecah menjadi Rp 430/saham.
Mirip dengan BBCA, direksi SCMA menjelaskan bahwa tujuan dari dilaksanakannya stock split adalah untuk meningkatkan likuiditas perdagangan saham dan nilai perseroan.
Lantas, bagaimana sebenarnya kinerja kedua saham di atas, baik secara performa harga dan likuiditas sahamnya?
Di halaman berikutnya, Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara ringkas mengenai hal tersebut.
Sebagaimana diketahui, likuiditas suatu saham menandakan besarnya besar minat investor terhadap suatu saham. Dalam hal ini, likuiditas saham bisa dilihat dari volume dan frekuensi perdagangan saham. Saham yang likuid biasanya memiliki volume dan frekuensi perdagangan yang tinggi dan begitu pula sebaliknya.
Saham SCMA dan BBCA tergolong saham yang likuid, dengan volume dan frekuensi perdagangan yang termasuk tinggi. Apalagi, keduanya ditopang oleh nilai kapitalisasi pasar (market cap) yang besar.
Saham SCMA, misalnya, secara year to date (ytd) memiliki rerata frekuensi perdagangan 3.225 kali dan rerata volume perdagangan 16 juta saham. Rerata nilai transaksi pun besar Rp 31,10 miliar.
SCMA juga masuk ke dalam daftar 50 saham dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di bursa, yakni sebesar Rp 31,92 triliun.
Sebelum ini, SCMA sendiri pernah melakukan stock split pada 29 Oktober 2012 dengan rasio 1:5. Dengan stock split tersebut harga saham SCMA berubah dari sekitar Rp 10.000/unit menjadi Rp 2.140/unit.
Semenjak stock split pada 2012, harga saham SCMA sempat naik di harga tertinggi Rp 4.130/unit pada 2 September 2014 dan menyentuh harga terendah Rp 635/unit pada awal pandemi Covid-19 atau 19 Maret 2020.
Adapun sepanjang 2021, saham SCMA diperdagangkan di rentang harga Rp 1.385-2.150/saham hingga sesi I perdagangan Rabu (22/9). Ini menunjukkan, pasca-stock split pada 2012 lalu, harga saham SCMA berfluktuasi, tetapi tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan.
Mengenai performa, dalam sebulan saham SCMA melesat 10,26%, sedangkan secara ytd anjlok 6,11%.
Sementara, saham BBCA merupakan saham dengan nilai market cap terjumbo di bursa, yakni Rp 809,30 triliun. Rerata frekuensi dan volume perdagangan saham BBCA secara ytd pun tinggi, yakni masing-masing sekitar 8.400 kali dan 16,77 juta saham. Nilai transaksi saham BBCA pun jumbo, yakni Rp 545,68 miliar sejak awal tahun.
CNBC Indonesia mencatat, pemecahan saham kali ini bukan merupakan stock split BBCA yang pertama. Tercatat sejak melantai 31 Mei 2000 silam di harga Rp 1.400/unit BBCA sudah memecah sahamnya sebanyak 3 kali.
Pertama, pemecahan dilakukan setahun berselang melantainya BBCA di bursa lokal per tanggal 12 April 2001 di mana BBCA dipecah 1:2 sehingga nominalnya turun dari Rp 500 menjadi Rp 250, sehingga jumlah saham beredar naik dari 2,94 miliar saham menjadi 5,88 miliar saham.
Kenaikan harga kumulatif selama 3 tahun pasca-stock split menyebabkan BBCA kembali memecah harga sahamnya. Tercatat, manajemen kembali menyetujui pemecahan salam lagi-lagi dengan rasio 1:2 sehingga nominal kembali turun menjadi Rp 125 dan jumlah saham beredar naik menjadi 12,26 miliar saham.
Terakhir, pada akhir Januari 2008 BBCA kembali memecah sahamnya dengan nominal yang sama yakni 1:2 sehingga nominal sahamnya menjadi Rp 62,5 dan jumlah saham beredar kembali naik menjadi 24,65 miliar saham.
Setelah stock split terakhir pada 2008 di harga Rp 3.600/unit, harga saham BBCA terus melonjak tinggi hingga mencapai harga Rp 32.800/saham pada penutupan sesi I perdagangan Rabu (22/9/2021).
Nantinya, harga saham BBCA juga akan bersaing dengan harga 3 saham bank raksasa lainya seperti BBRI yang diperdagangkan di kisaran Rp 3.610/unit, BMRI di harga Rp 6.000/unit, dan BBNI di harga Rp 5.125/unit.
TIM RISET CNBC INDONESIA