Utang BLBI Rp 904 M-Diburu Satgas, Siapa Suyanto Gondokusumo?

Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) kembali tancap gas menguber obligor yang belum menyelesaikan pengembalian dana BLBI yang terjadi pada era krisis 1998 itu.
Nama-nama besar pun berseliweran di media massa, diminta pertanggungjawabannya oleh satgas BLBI. Prosedur pemanggilan lewat media massa dilakukan lantaran pada pemanggilan langsung tidak ada respons.
Sebelumnya, anggota keluarga mendiang Presiden Soeharto dan keluarga Bakrie telah masuk daftar debitur atau obligor yang bersangkutan dengan utang negara.
Kali ini Ketua Harian Satgas BLBI Rionald Silaban mengumumkan pemanggilan Suyanto Gondokusumo yang juga dilakukan melalui surat kabar nasional.
Dalam informasi yang beredar tersebut seperti dikutip CNBC Indonesia, Suyanto harus menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI sebesar Rp 904,47 miliar atau tepatnya Rp 904.479.755.635,85.
Suyanto dipanggil dalam rangka penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) Bank Dharmala.
Dalam pengumuman Satgas BLBI tersebut, disebutkan Suyanto memiliki dua alamat yakni Jalan Simprug Golf III Kav 71 RT 004/RW 008 Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kemudian, di Singapura beralamat di 16 Clifton Vale Singapura.
Menurut pemberitaan Detikcom pada 27 April 2004, Bank Dharmala masuk ke dalam daftar 50 BBO/BBKU (Bank Beku Operasi/Bank Beku Kegiatan Usaha) yang secara resmi dilikuidasi oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Data Guide Khazanah Arsip Perusahaan Tahun 2017 dari ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) menyebutkan profil Bank Dharmala.
Pada 13 Maret 1999 Bank Dharmala ditutup dengan susunan manajemen yakni Dewan Komisaris yang terdiri dari Suyanto Gondokusumo, Tjan Soen Eng, Hartawan Sunosubroto, Slamet Santoso Gondokusumo.
Adapun direksi terdiri dari Suhanda Wiraatmaja, Jenny Wirdjadinata, Harjono Darto To, Erly Syahada, dan Kinardi Rusli.
Sementara itu, dalam salah laporan tahun 2000 yang berjudul "Indonesian Banks Revived" yang mengulas Lehman Brothers sebelum resmi dinyatakan bangkrut akibat krisis ekonomi AS tahun 2008 lalu, dokumen ini juga menyebutkan soal Grup Dharmala.
Disebutkan bahwa Grup Dharmala yang tersandung kasus BLBI adalah milik Keluarga Gondokusumo. Grup Dharmala memiliki fokus di beberapa sektor yakni jasa keuangan, properti dan agroindustri. Beberapa bank yang tergabung dalam grup tersebut adalah Bank Dharmala, Bank Sewu dan Bank Putra Surya Perkasa (PSP).
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa Grup Dharmala masuk dalam 20 obligor dengan utang terbesar, totalnya mencapai Rp 2,67 triliun.
Beberapa tokoh penting keluarga Gondokusumo adalah Suhargo Gondokusumo, Suyanto Gondokusumo, Hendro Gondokusumo dan Trijono Gondokusumo.
Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, Keluarga Gondokusumo masuk dalam jajaran konglomerat papan atas Indonesia.
Suhargo dan Hendro Gondokusumo memimpin Grup Dharmala. Sementara generasi keduanya, seperti Trijono membangun bisnis sendiri di bawah bendera Grup PSP. Usaha taipan ini maju di bisnis properti dan keuangan.
Pada 2001 salah satu media online sempat memberitakan keterlibatan Suyanto dalam sengketa jual beli saham antara Manulife Financial Corp. (Canada) dengan Roman Gold Assets Limited (RGA) yang berbasis di British Virgin Island-- dalam pembelian 40 persen saham PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI) milik PT Dharmala Sakti Sejahtera (DSS).
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) disebutkan melaporkan Suyanto Gondokusumo dan para Direksi PT Dharmala Sakti Sejahtera berkaitan dengan penerbitan surat kuasa substitusi untuk menjual 1.800 lembar saham DSS yang ada di Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI).
Perbuatan Suyanto serta Direksi DSS dikatakan melanggar ketentuan-ketentuan pasar modal, kepailitan, perseroan terbatas, KUHPerdata dan KUHP.
DSS adalah debitur BPPN yang berasal dari BBD, BNI 46, Bank danamon, Bank Duta, Bank Eksim, Bank Lippo, Bank Putra Surya Perkasa, bank Tiara Asia, Bank Umum nasional dan Bank Dharmala.
Bahkan New York Times ikut memberitakan informasi ini.
"Perusahaan Pak Gondokusumo pernah bermitra dengan Manulife Fianncial di unit Indonesia, tetapi Manulife Financial membeli kembali saham tersebut dalam lelang pemerintah," tulis New York Times, 9 Juli 2002.
Nama Suyanto memang jarang didengar publik, tapi masih terdapat satu anggota keluarga Gondokusumo yang namanya masih aktif dibicarakan di pasar modal.
Nama tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Hendro Gondokusumo, Direktur Utama PT Intiland Development Tbk (DILD) yang juga salah satu pemegang saham mayoritas dan pengendali perusahaan.
Tidak diketahui secara pasti hubungan kekerabatan antara Hendro dan Suyanto, akan tetapi keduanya merupakan anggota keluarga Gondokusumo.
Intiland semula bernama PT Dharmala Intiland Tbk, yang mana inspirasi kode saham diperoleh. Intiland sebelumnya merupakan bagian dari Grup Dharmala hingga akhirnya dilakukan restrukturisasi pada 29 Juni 2007 dan berganti nama seperti sekarang.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mahfud Tagih Obligor BLBI: Berapa Hartamu, Mau Ngemplang?
