Cerita Utang Jumbo Keluarga Bakrie, dari BLBI Hingga Lapindo

Monica Wareza, CNBC Indonesia
21 September 2021 08:30
Nirwan Dermawan Bakrie  (Ist Universitas Bakrie)
Foto: Nirwan Dermawan Bakrie (Ist Universitas Bakrie)

Jakarta, CNBC Indonesia - Upaya pemerintah untuk menagih utang kepada sejumlah keluarga konglomerat terus dilakukan. Kali ini yang jadi sorotan publik adalah pemanggilan pemanggilan beberapa anggota keluarga dari kelompok usaha Bakrie oleh Satuan Tugas (Satgas) Penagihan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terjadi ada krisis keuangan tahun 1997-1998 silam.

Dalam pengumuman di surat kabar nasional, Satgas BLBI memanggil dua keluarga Bakrie, yakni Nirwan Dermawan Bakrie dan Indra Usmansyah Bakrie.

Diketahui, Nirwan Bakrie dan Indra Bakrie merupakan debitur Bank Putera Multikarsa (bank penerima BLBI, bank milik pengusaha Marimutu Sinivasan) dengan utang sebesar Rp 22,7 miliar. Mereka diminta menghadap Ketua Pokja Penagihan dan Litigasi Tim C untuk menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada negara.

"Menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI setidak-tidaknya sebesar Rp 22.677.129.206 dalam rangka penyelesaian kewajiban debitur Bank Putera Multikarsa," seperti dikutip pengumuman yang ditandatangani Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban.

Adapun, Nirwan, Indra bersama dengan Aburizal merupakan saudara kandung yang tergabung dalam Grup Bakrie yang didirikan oleh ayah mereka, Achmad Bakrie sejak 1940.



Grup Bakrie memiliki bisnis di hampir semua sektor penting perekonomian. Mulai dari bisnis pertambangan, energi, infrastruktur, jasa keuangan, kesehatan, telekomunikasi, media, perkebunan hingga teknologi.

Saat ini, total harga kekayaan keluarga Bakrie memang belum terungkap. Pada 2007, majalah Forbes sempat menempatkan keluarga Bakrie sebagai konglomerat terkaya. Kala itu kekayaan keluarga Bakrie ditaksir mencapai US$ 5,4 miliar atau setara Rp 77 triliun (kurs Rp 14.300/US$).

Kini tak ada lagi nama keluarga Bakrie di deretan 20 besar taipan Indonesia di daftar Forbes. Tetapi mereka sebetulnya masih diperhitungkan sebagai salah satu konglomerat alias crazy rich di Indonesia.

Hal ini mengingat mereka mengendalikan sejumlah perusahaan Tbk (terbuka) di Bursa Efek Indonesia (BEI), baik lewat kepemilikan saham lewat perusahaan afiliasi, cangkang, hingga kepemilikan langsung generasi ketiga.

Saat ini Nirwan lebih banyak berada di belakang layar, dan menjabat Ketua Pembina Yayasan Pendidikan Bakrie sebagaimana tercatat di situs Universitas Bakrie.

Namun, ketiga anak Nirwan menjabat posisi penting di Grup Bumi, mulai dari jabatan presiden direktur hingga anggota komisaris.

Berdasarkan hasil RUPS BUMI, 31 Agustus 2021, Adika Nuraga Bakrie (Aga Bakrie) menjabat sebagai Presiden Direktur Bumi Resources serta bertindak sebagai anggota dewan komisaris di PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) yang merupakan anak usaha tambang emas dari BUMI.

Adhika Andrayudha Bakrie, menjabat sebagai anggota dewan komisaris di kedua perusahaan tersebut, BUMI dan BRMS. Sedangkan Adika Aryasthana Bakrie merupakan dewan direksi di BRMS.

Sebelumnya pada 2012, Indra Bakrie juga ikut mengurus perusahaan investasi Bumi Plc, yang tercatat di Bursa London, tetapi saat itu dia mengundurkan diri dari posisi Wakil Komisaris Utama dan Direktur Bumi Plc saat terjadi kisruh besar dalam internal perusahaan investasi itu.

Sementara keluarga Indra Bakrie kini lebih fokus mengelola PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), emiten bergerak dalam bidang eksplorasi dan perdagangan minyak dan gas bumi.

Tercatat anak kandungnya Syailendra S. Bakrie yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama ENRG. Selain itu, Adinda Bakrie juga memegang posisi penting yakni Direktur EMP Mining Overseas Pte Ltd, anak usaha ENRG, yang fokus pada pertambangan mineral.

Kapitalisasi pasar kedua perusahaan pertambangan milik Grup Bakrie masing-masing adalah sebesar Rp 4,09 triliun (BUMI) dan Rp 8,46 triliun (BRMS).

BRMS sendiri merupakan perusahaan yang dikendalikan oleh BUMI dengan kepemilikan saham 6,68%. Sementara itu BUMI dikendalikan oleh Long Haul Holdings Ltd dengan kepemilikan saham langsung sebesar 4,14%.

Sementara itu kapitalisasi pasar ENRG mencapai Rp 2,95 triliun dengan Bakrie Kalila Investment dan Bakrie Capital Indonesia menjadi pengendali dengan kepemilikan saham masing-masing sebesar 57,22% dan 7,50%.

Adapun, keluarga Aburizal Bakrie, sang kakak tertua, banyak mengelola perusahaan holding dan media, di antaranya PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), dan PT Intermedia Capital Tbk (MDIA) lewat anaknya, Anindya Novyan Bakrie dan Anindra Ardiansyah Bakrie (Ardi Bakrie).

Jika dilihat ke belakang, tidak hanya kali ini keluarga Bakrie dipanggil pemerintah terkait utang ke negara. Sebab, keluarga Bakrie juga masih memiliki piutang ke negara terkait dengan lumpur Lapindo.

Terkait dengan utang Lapindo, keluarga Bakrie juga belum melakukan pembayaran sehingga pemerintah masih mengejar sampai saat ini. Pemerintah pun berkali-kali menegaskan penagihan tidak akan dihentikan sampai utang perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie dibayarkan atau dilunasi.

Hal ini ditegaskan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban saat berbincang dengan media. Menurutnya, saat ini pemerintah dan pihak Lapindo masih melakukan komunikasi terkait utang tersebut.

"Jadi lapindo sudah ada surat menyurat dan saat ini kita sudah kembali memberikan tanggapan kepada pihak Lapindo," ujarnya beberapa waktu lalu.

Adapun utang terkait Lapindo yang melilit keluarga Bakrie ini berawal pada Maret 2007. Saat itu pemerintah memberikan dana talangan untuk ganti rugi bencana alam Lumpur Lapindo melalui perjanjian Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007.

Pada saat itu perusahaan Bakrie memperoleh pinjaman Rp 781,68 miliar. Namun utang yang ditarik dari pemerintah (dana talangan) sebesar Rp 773,8 miliar.

Perjanjian pinjaman tersebut memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8%. Sedangkan denda yang disepakati adalah 1/1.000 per hari dari nilai pinjaman. Kala perjanjian disepakati, Lapindo akan mencicil empat kali sehingga tidak perlu membayar denda. Atau Lunas pada 2019 lalu.

Nyatanya, semenjak uang negara dicairkan melalui perjanjian PRJ-16/MK.01/2015 mengenai Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, Lapindo hanya mencicil satu kali.

Pihak Lapindo baru membayar utang dana talangan pemerintah sebesar Rp 5 miliar dari total utang Rp 773,8 miliar. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya harus mengembalikan uang negara sebesar Rp 1,91 triliun.

Pengembalian uang negara itu merupakan pokok, bunga, dan denda yang harus dibayar Lapindo atas pinjaman dana talangan akibat luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.


(hps/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Berapa Utang Duo Bakrie yang Dikejar Sri Mulyani?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular