Sentuh Rp 14.185/US$, Rupiah Sukses Pukul Balik Dolar AS

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 September 2021 15:45
Ilustrasi Dollar
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah terlihat bakal mencatat pelemahan melawan dolar Amerika Serikat pada perdagangan Jumat (17/9), sebab langsung masuk ke zona merah di awal sesi. Apalagi, dolar AS sedang mengamuk pasca rilis data penjualan ritel. Tetapi yang terjadi sebaliknya, rupiah sukses menguat bahkan sempat menembus ke bawah Rp 14.200/US$.

Melansir data refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.250/US$. Rupiah perlahan masuk ke zona merah, melemah hingga 0,11% ke Rp 14.265/US$.
Namun, sebelum tengah hari rupiah sukses memukul balik dolar AS. Setelahnya rupiah terus ngegas hingga penguatan tercatat sebesar 0,46% di Rp 14.185/US$. Level tersebut sekaligus menjadi yang terkuat pada hari ini.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.225/US$, menguat 0,18%.

Penguatan rupiah saat ini menunjukkan 2 hal, yang pertama pelaku pasar masih menanti kepastian tapering oleh bank sentral AS (The Fed). Yang kedua, kesiapan rupiah menghadapi pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) tersebut.

Fundamental rupiah saat ini berbeda dengan 2013 ketika merosot tajam saat The Fed mengumumkan tapering. Bank Indonesia (BI) memiliki cadangan devisa yang cukup untuk melakukan stabilisasi, yaitu US$ 144,8 miliar di akhir Agustus yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.

Selain itu, kepemilikan asing di pasar obligasi pada 2013 lalu porsi asing mencapai 40%, sehingga ketika ada pergerakan keluar masuk mempengaruhi nilai tukar hingga suku bunga acuan. Sementara sekarang porsi asing hanya sekitar 23%.

Fitch Solutions dalam laporan terbarunya bahkan memprediksi Mata Uang Garuda akan berada di Rp 14.000/US$ di akhir tahun ini.

Proyeksi terbaru Fitch Solution tersebut lebih kuat ketimbang bulan sebelumya di Rp 14.300/US$. Yang menarik, meski saat nilai tukar rupiah diproyeksikan menguat, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru dipangkas, begitu juga dengan Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan akan kembali memangkas suku bunga.

Dalam laporan bulanan edisi Agustus dengan judul Delta Variant a Severe Threat to Asia's Growth Recovery, Fitch Solution memprediksi produk domestik bruto (PDB) Indonesia di tahun ini akan tumbuh 4,38%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya 4,5%. Salah satu penyebab pemangkasan tersebut adalah penyebaran virus corona sejak Juli lalu, yang membuat pemerintah mengetatkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Sementara itu, BI yang sudah menahan suku bunga acuan 3,5% dalam 6 bulan beruntun diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,25%.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasar Tunggu Detail Tapering pada Rapat The Fed Pekan Depan

Dolar AS sedang perkasa pasca rilis data penjualan ritel kemarin. Kemarin indeks dolar AS melesat 0,41% ke 92,93, tetapi hari ini turun tipis 0,07%.

Pada Agustus 2021, penjualan ritel di Negeri Adidaya tumbuh 0,7% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Jauh membaik ketimbang Juli 2021 yang minus 1,8% mtm. Juga jauh lebih baik dari konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan minus 0,8%.

"Konsumsi di AS tidak berkurang sebanyak yang diperkirakan. Ekonomi masih bergeliat," ujar Chris Low, Kepala Ekonom FHN Financials yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.

Rebound penjualan ritel tersebut membuat rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) pekan depan kembali menarik, isu tapering dalam waktu dekat yang sebelumnya sempat meredup kini kembali muncul.

Tetapi, tetap saja pelaku pasar tidak memasang ekspektasi yang tinggi, dan lebih memilih menanti detail dari The Fed saat pengumuman kebijakan moneter Kamis (23/9) dini hari waktu Indonesia.

"Kita menanti rapat kebijakan moneter The Fed pekan depan, itu tetap akan menjadi fokus utama. Saya pikir sebelum pengumuman tersebut, dolar AS tidak akan mengalami pergerakan besar, baik menguat atau pun melemah," kata Shinichiro Kadota, ahli strategi di Barclays Tokyo, sebagaimana dilansir CNBC International.

Dengan rilis data inflasi yang melambat, dan data tenaga kerja yang mengecewakan awal bulan ini membuat rapat The Fed kali ini disebutkan antiklimaks.

Tetapi, bukan berarti tidak akan penting, kejutan bisa saja terjadi. Selain itu, Suki Cooper, analis dari Standard Chartered Bank melihat tapering baru akan diumumkan pada bulan November, tetapi rapat kebijakan moneter The Fed bulan ini akan berisi dot plot, yakni proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Sehingga tetap akan menjadi perhatian besar bagi pelaku pasar.

"Meski pengumuman tapering tidak akan dilakukan hingga bulan November, rapat kebijakan The Fed bulan ini akan memberikan proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Dan proyeksinya akan sama dengan tahun 2023, yakni dua kali kenaikan suku bunga," kata Cooper.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular