
Market Cap Trio BCA-BRI-Telkom Jawara, TPIA Melesat Rp 19 T

Pada pekan lalu, data indeks keyakinan konsumen (IKK) periode Agustus telah dirilis, yang menandakan bahwa masyarakat Indonesia masih belum percaya diri dalam menatap perekonomian.
Bank Indonesia (BI) melaporkan IKK Indonesia periode Agustus 2021 berada di 77,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 80,2.
IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Jika di bawah 100, maka artinya konsumen pesimistis memandang prospek perekonomian saat ini hingga enam bulan mendatang.
Ketika masyarakat tidak 'pede', maka tingkat konsumsi cenderung menurun, yang tentunya berisiko menekan pertumbuhan ekonomi.
Sehari setelahnya, BI melaporkan penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Juli 2021 berada di 188,5. Nilai itu turun 5% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm) dan -2.9% dari Juli 2020 (year-on-year/yoy).
Untuk Agustus 2021, BI memperkirakan IPR Berada di 196,5. Tumbuh 4,3% mtm tetapi masih terkontraksi 0,1% yoy. Dibandingkan Juli 2021 ada perbaikan baik secara mtm maupun yoy.
Satu data bagus dari dalam negeri yakni cadangan devisa (cadev) dilaporkan sebesar US$ 144,8 miliar di di akhir Agustus, naik US$ 7,5 miliar dari bulan sebelumnya.
Rekor cadangan devisa sebelumnya sebesar US$ 138,8 miliar yang dicapai pada bulan April lalu. Artinya, rekor kali ini jauh melewati catatan sebelumnya.
Di tengah beragamnya data ekonomi di dalam negeri, isu tapering atau program pengurangan pembelian aset (quantitative easing/QE) oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang kembali berhembus juga turut memperberat kinerja IHSG pada pekan lalu.
The Fed akan menggelar rapat pada 21-22 September 2021. Semakin dekat ke waktu pelaksanaan rapat, hawa tapering kian terasa.
Sejumlah pejabat teras The Fed sudah menyuarakan bahwa tapering bisa mulai dilakukan tahun ini. Michelle 'Miki' Bowman, Anggota Dewan Gubernur The Fed, menilai arah kebijakan memang selalu ditentukan oleh data (data dependent). Namun berbagai data yang ada sudah mengarah ke perbaikan.
"Walau sebagian data belum sebaik yang kita perkirakan, tetapi kita tetap melihat ekonomi AS tumbuh tinggi. Kita sudah semakin dekat dengan target maximum employment (penciptaan lapangan kerja maksimal). Jika data mendukung, yang saya rasa demikian, maka menjadi layak (appropriate) bagi kami untuk memulai proses mengurangi pembelian aset pada tahun ini," papar Bowman dana sebuah acara yang dihelat American Bankers Association, seperti dikutip dari Reuters.
Sementara James Bullard, Presiden The Fed St Louis, menilai bank sentral harus segera move on dan merealisasikan rencana pengurangan stimulus. Sebab, pasar tenaga kerja terlihat semakin kuat.
"Permintaan terhadap tenaga kerja meningkat. Jika kita bisa membuat pemberi kerja dan pencari kerja bertemu dan berharap pandemi bisa lebih terkendali, maka pasar tenaga kerja akan sangat kuat tahun depan. Jadi gambaran besarnya adalah tapering bisa dimulai tahun ini dan berakhir pada paruh pertama tahun depan," ungkap Bullard dalam wawancara bersama Financial Times, juga dikutip dari Reuters.
Kemudian Loretta Mester, Presiden The Fed Cleveland, mengatakan tapering bisa saja mulai dilakukan tahun ini. Meski data penciptaan lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll/NFP) agak mengecewakan.
Pada Agustus 2021, perekonomian AS menciptakan 235.000 lapangan kerja. Ini adalah yang terendah sejak Januari 2021.
"Saya tidak berpikir bahwa laporan ketenagakerjaan pada Agustus akan mengubah pandangan saya bahwa kita sudah mencapai kemajuan yang substansial. Saya merasa nyaman memulai tapering tahun ini," ungkap Mester, sebagaimana diwartakan Reuters.
Sejak masa pandemi, The Fed 'mengguyur' likuiditas di perekonomian melalui QE senilai US$ 120 miliar per bulan. Dana sebanyak itu membuat pasar berpesta-pora dan menciptakan mentalitas 'beli, beli, beli'.
Jika tapering mulai diterapkan, maka gelontoran likuiditas ini akan berkurang. Likuiditas akan mulai ketat, dan pelaku pasar bakal lebih mempertimbangkan risiko (risk-on) sebelum membeli aset.
Persepsi tersebut yang dominan mewarnai bursa saham dunia pada pekan lalu, sehingga membuat pasar saham global, termasuk IHSG mencatatkan kinerja buruknya pada pekan lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
