Hebatnya lagi, penguatan rupiah terjadi kala dolar AS berjaya di Asia. Selain rupiah, hanya ringgi Malaysia yang juga mampu mencetak apresiasi.
Namun penguatan mata uang Negeri Harimau Malaya tidak setajam rupiah. Oleh sebab itu, rupiah secara sah dan meyakinkan menjadi mata uang terbaik Asia minggu ini.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot sepanjang pekan ini:
Sejatinya dolar AS sedang perkasa. Pekan ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) naik 0,66% secara point-to-point.
Keperkasaan mata uang Negeri Paman Sam dilatarbelakangi oleh makin kuatnya aura pengetatan kebijakan moneter atau tapering oleh bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Sebab, sejumlah data mengindikasikan bahwa perekonomian AS bergerak semakin cepat.
Pada pekan yang berakhir 3 September 2021, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan klaim tunjangan pengangguran turun 35.000 menjadi 310.000. Lebih dalam ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 335.000 dan menjadi yang terendah sejak masa pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Kemudian pada Agustus 2021, inflasi di level produsen (Producers' Price Index/PPI) pada Agustus 2021 mencapai 8,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 8,2% sekalgus menjadi laju tercepat sejak November 2010.
Data ini menggambarkan bahwa ekonomi Negeri Adidaya sudah bisa berlari kencang. Artinya, mungkin 'tuntunan' dari The Fed sudah bisa mulai dikurangi.
Sejak masa pandemi, The Fed 'mengguyur' likuiditas di perekonomian melalui quantitative easing senilai US$ 120 miliar per bulan. Suku bunga acuan pun dipangkas habis-habisan hingga mendekati 0%.
"Dalam rapat The Fed mendatang, sepertinya akan terjadi perdebatan sengit mengenai arah kebijakan moneter ke depan. Namun kalau para pembuat kebijakan di The Fed mengacu kepada data terkini, mereka akan menyadari bahwa mungkin sekarang sudah masuk ke kriteria kenaikan suku bunga acuan, bukan sekadar mengurangi quantitative easing," papar Chris Rupkey, Ekonom FWDBONDS yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Saat quantitative easing dikurangi, maka pasokan dolar AS tidak akan lagi sederas sekarang. Mata uang bersifat seperti barang, pasokan yang menipis akan mendongrak harga.
Sedangkan kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengatrol imbalan investasi aset berbasis dolar AS, terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Ini tentu akan meningkatkan minat terhadap dolar AS karena ada iming-iming cuan gede. Ditambah dengan pasokan yang berkurang, peningkatan permintaan hasilnya tentu kenaikan harga.
Akan tetapi, kepekasaan dolar AS tidak membuat rupiah ciut nyali. Sepertinya faktor domestik menjadi 'obat kuat' bagi mata uang Ibu Pertiwi.
Bank Indonesia (BI) membawa kabar gembira. Cadangan devisa per akhir Agustus 2021 melonjak tinggi dan mengukir rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Agustus 2021 tercatat sebesar US$ 144,8 miliar, meningkat dibandingkan dengan posisi pada akhir Juli 2021 sebesar US$ 137,3 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 9,1 bulan impor atau 8,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," papar keterangan tertulis BI, Selasa (7/9/2021).
Peningkatan posisi cadangan devisa pada Agustus 2021, lanjut keterangan tersebut, terutama karena adanya tambahan alokasi Special Drawing Rights (SDR) sebesar 4,46 miliar SDR atau setara dengan US$ 6,31 miliar yang diterima oleh Indonesia dari Dana Moneter Internasional (IMF). Pada 2021, IMF menambah alokasi SDR dan mendistribusikannya kepada seluruh negara anggota, termasuk Indonesia, secara proporsional sesuai kuota masing-masing.
Hal itu ditujukan untuk mendukung ketahanan dan stabilitas ekonomi global dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19, membangun kepercayaan pelaku ekonomi, dan juga untuk memperkuat cadangan devisa global. Alokasi SDR tersebut didistribusikan kepada negara-negara anggota IMF tanpa biaya.
Bagi BI, cadangan devisa adalah pertahanan lapis pertama untuk menjaga nilai tukar rupiah. Ketika rupiah mengalami tekanan, BI bisa menggelontorkan likuiditas dari cadangan devisa untuk melakukan intervensi di pasar.
Sepanjang bulan lalu, kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) oleh BI bertambah Rp 9,39 triliun. Lebih tinggi dibandingkan penambahan sepanjang Juli 2021 yaitu Rp 2,45 triliun. Pembelian SBN merupakan salah satu langkah stabilisasi nilai tukar, selain intervensi di pasar spot dan Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF).
So, cadangan devisa yang semakin 'gemuk' akan membuat BI memiliki amunisi yang memadai untuk menjaga stabilitas rupiah. Investor bisa tenang, karena rupiah akan terkawal dengan baik dengan modal cadangan devisa yang kuat.
Akibatnya, investor percaya diri untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 1,11 triliun sepanjang pekan lalu. Sementara lelang obligasi syariah negara pada 7 September 2021 menjaring permintaan yang tinggi, mencapai Rp 56,61 triliun. Arus modal ini yang membuat rupiah mampu meladeni keperkasaan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA