Bangkit di Menit-menit Akhir, Rupiah Berakhir Stagnan!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Kamis, 09/09/2021 15:24 WIB
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah nyaris sepanjang perdagangan Kamis (15/11/2021) tertahan di zona merah melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tetapi, Mata Uang Garuda perlahan memangkas pelemahan hingga berakhir stagnan di Rp 14.250/US$.

Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka rupiah langsung melemah 0,14% ke Rp 14.270/US$, beberapa kali rupiah berusaha bangkit tetapi gagal. Justru rupiah sempat melemah 0,18% ke Rp 14.275/US$.

Arah angin kini sudah berubah, rupiah yang sebelumnya sangat perkasa berbalik tertekan 2 hari terakhir.


Dari dalam negeri, Kemarin data menunjukkan masyarakat Indonesia semakin tidak percaya diri dalam menatap perekonomian. Hal in tercermin dari Survei Konsumen yang digelar Bank Indonesia. Pada periode Agustus 2021, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berada di 77,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 80,2.

IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Jika di bawah 100, maka artinya konsumen pesimistis memandang prospek perekonomian saat ini hingga enam bulan mendatang.

Ketika masyarakat tidak pede, maka tingkat konsumsi cenderung menurun, yang tentunya berisiko menekan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, isu tapering yang meluas membuat rupiah semakin tidak diuntungkan. Isu tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) oleh bank sentral AS (The Fed) sudah mengemuka dalam beberapa bulan terakhir. Bahkan, ketua The Fed Jerome Powell mengkonfirmasi jika tapering akan tepat dilakukan di tahun ini, meski belum jelas bulan apa akan dimulai.

Pasar masih merespon positif hal tersebut, tetapi ketika beberapa bank sentral lainnya juga diisukan akan melakukan tapering pelaku pasar mulai was-was. Sebab, tapering artinya pengetatan kondisi moneter, penambahan likuiditas tidak akan sebesar sebelumnya. Di sisi lain, penyebaran virus corona varian delta dikhawatirkan akan menghambat laju pemulihan ekonomi.

Saat laju pemulihan terhambat, dan stimulus dikurangi, tentunya roda bisnis akan berjalan pelan. Bukannya membaik, perekonomian malah berisiko merosot lagi. Hal itu yang menjadi kecemasan pelaku pasar. Bursa saham global pun berguguran dalam beberapa hari terakhir.

Dalam kondisi tersebut, rupiah yang merupakan mata uang emerging market tidak diuntungkan. Dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi buruan pelaku pasar.

Selain The Fed, bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga diperkirakan akan melakukan tapering. Bank sentral pimpinan Christine Lagarde ini akan mengumumkan kebijakannya sore ini.

Survei yang dilakukan Reuters terhadap para analis menunjukkan ECB diperkirakan akan mengurangi nilai pembelian asetnya yang disebut Pandemic Emergency Purchase Program (PEPP) menjadi 60 miliar euro per bulan, dari sebelumnya 80 miliar euro. Kemudian di awal tahun depan tapering akan kembali diakukan, sebelum berakhir pada bulan Maret.

Meski demikian, ECB juga diperkirakan akan memberikan dukungan yang besar ke perekonomian zona euro meski PEPP berakhir.

"Jika dewan gubernur ECB membahas pengurangan nilai pembelian obligasi di bawah PEPP, mereka juga akan memastikan melanjutkan stimulus dengan program pembelian aset konvensional," kata Daisuke Uno, kepala strategi di Sumitomo Mitsui Bank, sebagaimana dilansir CNBC International.

Sebelum ECB, bank sentral Australia (Reserve bank of Australia/RBA) sudah melakukannya di bulan ini. RBA melakukan QE pertama kali dalam sejarah sejak November 2020 lalu, dengan nilai AU$ 100 miliar, dan dilakukan dengan melakukan pembelian obligasi sebesar AU$ 5 miliar per pekan.

Program tersebut berakhir di bulan ini, jika tidak diperpanjang artinya selesai, tidak perlu ada tapering. Tetapi RBA mengumumkan memperpanjang QE tetapi nilainya dikurangi menjadi AU$ 4 miliar per pekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Bikin Rupiah Anjlok, Tembus Rp 16.400-an per Dolar AS