Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Mata uang emerging market (EM) yang memiliki imbal hasil tinggi begitu juga dengan risikonya diperkirakan akan mengalami volatilitas yang tinggi, serta aksi jual (sell off) dalam 3 bulan ke depan.
Sebabnya, tentu saja bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) yang akan melakukan tapering.
Reuters mengadakan survei pada periode 30 sampai 2 Agustus, mayoritas mengatakan pelemahan dolar AS hanya bersifat sementara, sebab ketika The Fed resmi melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) maka hal itu akan mendorong kenaikan yield obligasi AS (Treasury).
Sebanyak 84% dari 57 analis yang disurvei mengatakan volatilitas akan meningkat 3 bulan ke depan. Sementara itu sebanyak 55% dari 58% analis mengatakan sell off mata uang emerging market mungkin akan terjadi, dan 3% mengatakan sangat mungkin.
 Foto Refinitiv |
Tapering pernah terjadi pada tahun 2013, saat itu pasar finansial global bergejolak yang disebut taper tantrum. Yield obligasi AS (Treasury) kala itu naik tajam, aliran modal keluar dari negara emerging market menuju Amerika Serikat, dolar AS menjadi sangat perkasa, aset-aset lain rontok.
Kemarin, terjadi "taper tantrum mini". Yield Treasury tenor 10 tahun melesat lebih dari 5 basis poin ke 1,3766% yang merupakan level tertinggi sejak pertengahan Juli lalu. Alhasil, indeks dolar AS melesat 0,52%, artinya the greenback menguat cukup tajam.
Bursa saham AS (Wall Street) terpuruk. Harga emas dunia ambrol hingga 1,6%, bitcoin bahkan ikut jeblok hingga 10%.
"Taper tantrum mini" tersebut akhirnya membuat rupiah melemah hari ini.
Jika benar yield Treasury menanjak ketika The Fed melalukan tapering, maka taper tantrum seperti 2013 bisa kembali terjadi, meski banyak analis memprediksi dampaknya tidak akan sedashyat dulu. Tetapi ada juga analis yang melihat dampak tapering kali ini akan sama seperti tahun 2013 ke mata uang emerging market.
"Kami tidak setuju dengan yang percaya posisi emerging market saat ini lebih tahan banting ketimbang taper tantrum 2013," kata Rob Subbaraman, kepala ekonom di Nomura, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (3/9/2021).
Hasil survei tersebut juga menunjukkan mayoritas mata uang emerging market diperkirakan melemah dalam 3 hingga 6 bulan ke depan, termasuk mata uang yang disebut "fragile five" yakni real Brasil, rupee India, lira Turki, rand Afrika Selatan, dan rupiah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tapering Tak Ngeri Seperti 2013
Tapering yang akan dilakukan The Fed diprediksi membuat rupiah melemah ke Rp 15.000/US$, tetapi sekali lagi tidak akan separah 2013. Hal ini diungkapkan Chatib Basri, Ekonom Senior yang juga merupakan Mantan Menteri Keuangan saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (27/8/2021).
"Perkiraan saya karena tapering kalau toh rupiah melemah, itu tidak akan setajam 2013, 2015 atau 2018. Tapi kalau ada kasus lain seperti Covid-19 yang melonjak mungkin bisa di atas 15.000," jelasnya.
Tahun 2013 menjadi situasi yang suram bagi perekonomian Indonesia. Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak The Fed mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
Dibandingkan 2013, kondisi sekarang tentu berbeda. Perbedaan paling mencolok adalah porsi asing di pasar obligasi dalam negeri. Pada 2013 lalu porsi asing mencapai 40%, sehingga ketika ada pergerakan keluar masuk mempengaruhi nilai tukar hingga suku bunga acuan. Sementara sekarang porsi asing hanya sekitar 23%.
"Satu hal, outflow tahun lalu sudah besar, itu belum sepenuhnya capital-nya balik. Itu kelihatan dulu foreign holder di bond turun 32% ke 23%. Jadi ini berita bagus, kalau porsi asing makin kecil, efek ke rupiah juga terbatas," imbuhnya.
BI juga memiliki cadangan devisa yang cukup untuk melakukan stabilisasi, yaitu US$ 144,8 miliar di akhir Agustus yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.
Dari sisi kebijakan BI sudah menyiapkan berbagai amunisi yang dikenal dengan triple intervention yang meliputi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Menurut Chatib, pelaku pasar juga telah membaca arah pelemahan tersebut. Belajar dari 2013, ketika ada isu tapering, maka opsi yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalkan defisit fiskal dan menaikkan suku bunga acuan.
Sekarang, kedua opsi tersebut tidak mungkin dilakukan karena mampu menahan pemulihan ekonomi nasional. "Maka opsi yang bisa dilakukan itu hanya membiarkan rupiah pelan-pelan terdepresiasi," terang Chatib.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Ahead The Curve Lagi
Menghadapi normalisasi kebijakan The Fed, Bank Indonesia (BI) sekali lagi menunjukkan sikap ahead the curve. Ahead the curve, merupakan jargon yang sering kali disebutkan Gubernur BI Perry Warjiyo pada tahun 2018 lalu.
"Kebijakan suku bunga acuan akan ditempuh pre-emptif dan ahead the curve untuk stabilisasi nilai tukar di samping konsisten jaga inflasi agar terkendali,' papar Perry saat menaikkan suku bunga pada Mei 2018.
Jargon ahead the curve yang dimaksud Perry mengacu kepada sikap hawkish yang diterapkannya dalam merespons normalisasi tingkat suku bunga acuan yang dilakukan oleh bank sentral AS (The Fed).
Sikap tersebut kembali ditunjukkan Perry pagi ini yang membuka peluang kenaikan suku bunga di akhir 2022.
Sejak pandemi virus corona mendera Indonesia tahun lalu, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 basis poin (bps). Kini BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di 3,5%, terendah sepanjang sejarah.
Namun MH Thamrin sudah mulai memikirkan mengenai kapan mengakhiri kebijakan moneter ekspansif. Jika data yang ada mendukung, maka bukan tidak mungkin suku bunga mulai dinaikkan pada akhir tahun depan.
"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).
Dengan proyeksi tersebut, artinya BI akan lebih dulu menaikkan suku bunga ketimbang The Fed. Sebab, The Fed baru akan menaikkan suku bunga pada tahun 2023.
Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot dalam rapat kebijakan moneter edisi Juni, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.
TIM RISET CNBC INDONESIA