Risiko Taper Tantrum Mengecil, Dolar AS Masih Primadona?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 August 2021 16:25
Ilustrasi Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) menjadi isu utama di pasar finansial global dalam beberapa pekan terakhir.

Dolar AS pun menjadi primadona, sebab ketika tapering dilakukan maka aliran modal yang selama ini tersebar akan kembali ke pangkuan Paman Sam. Indeks dolar AS pada Jumat (20/8/2021) menyentuh level 93,729 yang merupakan level tertinggi sejak November 2020.

Tetapi, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut pada pekan lalu merosot 0,87%, yang bisa menjadi pertanda berbaliknya sentimen terhadap dolar AS, tidak lagi menjadi primadona.

Di Asia, dolar AS masih menjadi primadona, setidaknya hingga pekan lalu. Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters, dimana pelaku pasar masih mengambil posisi beli (long).

Tetapi, jika dihadapkan dengan rupiah keunggulan dolar AS semakin terkikis, dimana posisi long-nya semakin yang semakin rendah. Dari 9 mata uang Asia yang disurvei, rupiah menjadi yang terbaik kedua.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

idr

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis hari ini, Kamis (26/8/2021) menunjukkan sentimen rupiah membaik, dengan angka untuk rupiah di 0,18, membaik dibandingkan 2 pekan lalu 0,20.

Dari 9 mata uang, hanya rupee India yang posisinya sudah berbalik, dari short menjadi long. Data terbaru menunjukkan angka -0,08, jauh lebih baik dari sebelumnya 0,37.

Rupiah berada di urutan kedua terbaik, sementara mata uang lainnya posisi short-nya masih cukup besar, bahkan ada yang mengalami peningkatan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tapering Tahun Ini, Tetapi Dolar AS Belum Tentu Primadona

Tapering pernah terjadi di tahun 2013 dan hasilnya tidak baik bagi pasar finansial global. Saat itu terjadi, aliran modal keluar dari negara emerging market dan kembali ke Amerika Serikat. Pasar finansial global menjadi bergejolak, yang disebut taper tantrum. Rupiah saat itu terus mengalami tekanan hingga di tahun 2015.

Maka wajar pelaku pasar berhati-hari dan membuat rupiah sulit menguat, sementara dolar AS menjadi primadona. Tetapi, dalam simposium Jackson Hole Jumat pekan lalu, Powell untuk saat ini bisa dikatakan sukses meredam terjadinya taper tantrum.

Powell sepakat dengan mayoritas koleganya jika tapering "akan tepat dilakukan di tahun ini. Meski demikian, pasar saham AS (Wall Street) justru menguat merespon penyataan tersebut, yang berarti direspon positif oleh pelaku pasar dan mengalirkan investasinya ke aset berisiko.

Artinya, langkah The Fed untuk terus mengkomunikasikan tapering dengan pasar efektif meredam gejolak yang mungkin terjadi seperti di tahun 2013, atau yang dikenal dengan istilah taper tantrum.

Selain itu, The Fed juga menyatakan saat tapering selesai artinya sudah tidak ada lagi QE, hal tersebut bukan berarti langkah The Fed selanjutnya akan menaikkan suku bunga.

"Waktu mengurangi pembelian aset tidak berarti menjadi pertanda waktu kenaikan suku bunga. Keduanya merupakan hal yang berbesar secara substansial," kata Powell dalam pertemuan Jackson Hole.

Dengan demikian suku bunga kemungkinan masih akan ditahan di rekor terendah 0,25% dalam beberapa waktu ke depan setelah QE selesai. Hal tersebut lagi-lagi memberikan sentimen positif ke aset-aset berisiko, tetapi tidak untuk dolar AS. The greenback bisa jadi tidak lagi menjadi primadona, jika dihadapkan dengan rupiah. Sebab. Bank Indonesia berpeluang menaikkan suku bunga lebih dulu.

BI sendiri sudah menyatakan suku bunga baru akan dinaikkan di akhir 2022.

"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).

Sementara itu berdasarkan Fed Dot Plot dalam rapat kebijakan moneter edisi Juni, sebanyak 13 dari 18 anggota The Fed melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.

Selain itu, dalam jangka panjang dolar AS diprediksi akan mengalami "kiamat" oleh Jeffrey Gundlach, CEO Double Line Capital.

"Pada satu titik dolar AS akan ambrol secara substansial," kata Gundlach pertengahan Juli lalu, sebagimana dilansir CNBC International.

Gundlach yang dijuluki "Raja Obligasi, melihat defisit Amerika Serikat baik itu defisit perdagangan ataupun defisit fiskal yang terus menanjak akan menjadi pemicu "kiamat" dolar AS.

"Pertanyaannya sekarang, bagaimana horison anda. Untuk jangka pendek, tentu saja dinamika yang terjadi masih membuat dolar AS menguat secara moderat. Tetapi untuk jangka panjang, saya pikir dolar AS akan 'kiamat'," kata Gundlach.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular