Risiko Taper Tantrum Mengecil, Dolar AS Masih Primadona?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 August 2021 16:25
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Tapering pernah terjadi di tahun 2013 dan hasilnya tidak baik bagi pasar finansial global. Saat itu terjadi, aliran modal keluar dari negara emerging market dan kembali ke Amerika Serikat. Pasar finansial global menjadi bergejolak, yang disebut taper tantrum. Rupiah saat itu terus mengalami tekanan hingga di tahun 2015.

Maka wajar pelaku pasar berhati-hari dan membuat rupiah sulit menguat, sementara dolar AS menjadi primadona. Tetapi, dalam simposium Jackson Hole Jumat pekan lalu, Powell untuk saat ini bisa dikatakan sukses meredam terjadinya taper tantrum.

Powell sepakat dengan mayoritas koleganya jika tapering "akan tepat dilakukan di tahun ini. Meski demikian, pasar saham AS (Wall Street) justru menguat merespon penyataan tersebut, yang berarti direspon positif oleh pelaku pasar dan mengalirkan investasinya ke aset berisiko.

Artinya, langkah The Fed untuk terus mengkomunikasikan tapering dengan pasar efektif meredam gejolak yang mungkin terjadi seperti di tahun 2013, atau yang dikenal dengan istilah taper tantrum.

Selain itu, The Fed juga menyatakan saat tapering selesai artinya sudah tidak ada lagi QE, hal tersebut bukan berarti langkah The Fed selanjutnya akan menaikkan suku bunga.

"Waktu mengurangi pembelian aset tidak berarti menjadi pertanda waktu kenaikan suku bunga. Keduanya merupakan hal yang berbesar secara substansial," kata Powell dalam pertemuan Jackson Hole.

Dengan demikian suku bunga kemungkinan masih akan ditahan di rekor terendah 0,25% dalam beberapa waktu ke depan setelah QE selesai. Hal tersebut lagi-lagi memberikan sentimen positif ke aset-aset berisiko, tetapi tidak untuk dolar AS. The greenback bisa jadi tidak lagi menjadi primadona, jika dihadapkan dengan rupiah. Sebab. Bank Indonesia berpeluang menaikkan suku bunga lebih dulu.

BI sendiri sudah menyatakan suku bunga baru akan dinaikkan di akhir 2022.

"Sudah ada rencana exit policy dari BI dengan mengurangi likuiditas sedikit-sedikit. Baru kemungkinan akhir 2022 masalah suku bunga. Tentu saja ada data yang harus kita lihat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (24/8/2021).

Sementara itu berdasarkan Fed Dot Plot dalam rapat kebijakan moneter edisi Juni, sebanyak 13 dari 18 anggota The Fed melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.

Selain itu, dalam jangka panjang dolar AS diprediksi akan mengalami "kiamat" oleh Jeffrey Gundlach, CEO Double Line Capital.

"Pada satu titik dolar AS akan ambrol secara substansial," kata Gundlach pertengahan Juli lalu, sebagimana dilansir CNBC International.

Gundlach yang dijuluki "Raja Obligasi, melihat defisit Amerika Serikat baik itu defisit perdagangan ataupun defisit fiskal yang terus menanjak akan menjadi pemicu "kiamat" dolar AS.

"Pertanyaannya sekarang, bagaimana horison anda. Untuk jangka pendek, tentu saja dinamika yang terjadi masih membuat dolar AS menguat secara moderat. Tetapi untuk jangka panjang, saya pikir dolar AS akan 'kiamat'," kata Gundlach.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular