
Ada Burden Sharing, Harga Obligasi RI Menguat Siang Ini!

Ekonom senior Chatib Basri menyadari bahwa yield SBN yang berlaku saat ini masih tergolong sangat tinggi. Padahal inflasi di Indonesia terbilang rendah, yakni hingga Juli sebesar 1,5% secara tahunan (year on year/yoy) dan hingga akhir tahun masih akan di bawah 3%.
Pada sisi lain tidak ada risiko depresiasi rupiah yang terlampau dalam.
Bila dibandingkan dengan yield surat utang pemerintah Amerika Serikat (AS), Treasury, selisihnya jauh berbeda. Sehingga tidak ada kekhawatiran pemerintah sulit menarik utang, sekalipun ada tapering pada tahun depan.
"Selisihnya jauh, bisa 3% lebih, tinggi banget investor dapat segitu. Jadi tidak ada masalah," ujar Chatib kepada CNBC Indonesia.
Menurutnya, pemerintah harus memikirkan cara agar yield SBN bisa lebih rendah. Pada 2014 silam, selisih yield SBN dengan US Treasury hanya sebesar 1%. Namun investor masih tetap berminat mendapatkan obligasi pemerintah.
Misalnya dengan optimalisasi pembiayaan dari sumber lain. Mulai dari pinjaman multilateral hingga burden sharing dengan BI.
"Burden sharing itu bisa relevan dilakukan saat ini. Walaupun kredibilitas BI akan dipertanyakan. Tapi kondisi Covid-19 ini memang belum selesai, tidak di Indonesia saja tapi juga dunia," paparnya.
Diketahui pemerintah terpaksa memperlebar defisit APBN dan menambah banyak utang untuk kebutuhan akan penanganan Covid-19 beserta dampaknya. Tanpa burden sharing, rasio belanja bunga terhadap PDB adalah 2,40% pada 2021 dan 2,43% di tahun depan atau sekitar Rp 400 triliun.
Melalui kebijakan ini, maka rasio bisa diturunkan ke 2,21% dan 2,19%. Dampak positifnya tidak hanya akan terasa sampai 2022, namun juga pada tahun-tahun berikutnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
