BI Masih Jadi 'Juru Selamat' RI dari Tumpukan Beban Utang

Maikel Jefriando & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
24 August 2021 08:20
Pengumuman hasil rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Agustus 2021. (Dok: Tangkapan layar youtube Bank Indonesia)
Foto: Pengumuman hasil rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Agustus 2021. (Dok: Tangkapan layar youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah akhirnya bisa sedikit bernafas lega saat ini. Beban utang terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diperkirakan menumpuk dalam 2-3 tahun ke depan bisa dikurangi.

Hal ini ditandai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan Bank Indonesia (BI). Di mana melanjutkan burden sharing atau berbagi beban atas penanganan covid-19. Nilainya cukup fantastis, mencapai Rp 439 triliun.

"Keputusan ini bisa mengurangi beban pembayaran bunga pemerintah," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo saat panggilan konferensi dengan investor, Senin malam (23/8/2021)

Diketahui pemerintah terpaksa memperlebar defisit APBN dan menambah banyak utang untuk kebutuhan akan penanganan covid-19 beserta dampaknya. Tanpa burden sharing, rasio belanja bunga terhadap PDB adalah 2,40% pada 2021 dan 2,43% di tahun depan atau sekitar Rp 400 triliun.

Melalui kebijakan ini, maka rasio bisa diturunkan ke 2,21% dan 2,19%. Dampak positifnya tidak hanya akan terasa sampai 2022, namun juga pada tahun-tahun berikutnya.

"Bayangkan ketika ada tetangga sakit, butuh bantuan dan harus menerbitkan surat utang dengan yield 6,3%. Maka pilihannya adalah membantu," jelas Perry.

Perry memastikan kebijakan ini diperhitungkan dengan sangat matang. Salah satunya mengenai risiko inflasi yang sejauh ini berada pada level terkendali yaitu 1,52% (yoy). Hingga akhir tahun diperkirakan bisa dalam kisaran 3% plus minus 1%.

"Dampak quantitative easing kami yakini baru akan terasa terhadap inflasi pada 2023," imbuhnya.

Nilai tukar rupiah juga cukup stabil. Meskipun ada sentimen negatif dari global, yaitu tapering oleh Bank Central Amerika Serikat (AS) The Fed. Rupiah sampai dengan 18 Agustus 2021 mencatat depresiasi sekitar 2,24% (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2020.

Halaman Selanjutnya >> Begini Rincian SKB III

Menkeu Sri Mulyani Indrawati menilai ini keputusan yang tepat untuk menjaga keberlangsungan fiskal ke depan. Pemerintah masih membutuhkan belanja untuk mempercepat vaksinasi, penanganan covid hingga perlindungan sosial bagi masyarakat dan UMKM.

"Ini merupakan inisiasi BI di mana bisa memberikan kontribusi tanpa mengganggu independensi," ungkap Sri Mulyani pada kesempatan yang sama.

SKB III ini terdiri dari dua klaster. Klaster A, BI akan berkontribusi atas seluruh biaya bunga untuk pembiayaan vaksinasi dan penanganan kesehatan dengan maksimum limit Rp 58 triliun pada 2021. Selanjutnya di 2022, BI juga akan kembali menanggung Rp 40 triliun. Dengan catatan sesuai kemampuan neraca BI.

Tingkat suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan akan ditanggung oleh Bank Indonesia (BI).

Sementara untuk klaster B adalah penanganan kesehatan selain klaster A dan pendanaan untuk berbagai program perlindungan bagi masyarakat dan UMKM. BI akan berkontribusi sebesar Rp 157 triliun dan 2022 sebesar Rp 184 triliun. Tingkat bunganya sama dengan klaster A, hanya saja ditanggung oleh pemerintah.

Penerbitan SBN dilaksanakan melalui private placement, mengurangi target lelang SBN dan dapat mengendalikan biaya utang.

Seluruh SBN diterbitkan dengan tingkat bunga mengambang dengan acuan suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan. SBN bersifat tradable dan marketable.

"Keputusan ini diambil dalam kondisi yang extraordinary dan pertimbangan yang matang. Kita akan menjalankan ini dengan sangat hati-hati," pungkasnya. 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular