
Rupiah di Level Terlemah Sepanjang Agustus, Ini Penyebabnya!

Bank Indonesia (BI) dalam pengumuman kebijakan moneter kemarin memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan 3,5%. Langkah ini sesuai dengan ekspektasi pasar.
Saat ini, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah menjadi fokus utama MH Thamrin.
Selain itu itu guna meredam dampak tapering, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan sudah punya strategi bahkan sudah dilakukan sejak Februari lalu.
"(Tapering) akan menaikkan suku bunga pasar dan yield (imbal hasil) US Treasury Bond. Pada Februari yield sudah naik dan mempengaruhi appetite investor global di negara-negara berkembang, pada akhirnya itu juga mempengaruhi kita," kata Perry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Agustus 2021.
BI, lanjut Perry, terus berupaya melakukan stabilisasi di pasar, terutama jika terjadi tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Ini dilakukan di pasar valas maupun Surat Berharga Negara (SBN).
"BI sudah melakukan intervensi di pasar spot, DNDF (Domestic Non-Deliverable Forwards). Kemudian investor asing melepas SBN, BI sudah membeli Rp 8,6 triliun dari Rp 11 triliun yang keluar. Kami bersama Kementerian Keuangan mengelola ini agar tetap stabil," jelas Perry.
Selain itu, tambah Perry, BI tetap menjaga daya tarik pasar keuangan Indonesia. Ini dilakukan dengan menjaga selisih yield antara SBN dan obligasi pemerintah di luar negeri, terutama AS.
Sementara hari ini BI melaporkan, NPI pada kuartal II-2021 berada di posisi defisit US$ 450 juta. Memburuk dibandingkan kuartal sebelumnya yang surplus luar biasa hingga mencapai US$ 4,06 miliar.
NPI terdiri dari dua pos besar yaitu transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial.
Transaksi berjalan menggambarkan arus masuk-keluar devisa yang datang dari ekspor-impor barang dan jasa, pendapatan primer, serta serta pendapatan sekunder. Keluar masuk devisa di pos ini lebih stabil ketimbang pos transaksi modal dan finansial yang cepat datang dan pergi.
Sehingga transaksi berjalan akan memberikan dampak yang cukup besar ke pergerakan rupiah.
Defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang besar tidak mampu ditutup oleh pos transaksi modal dan finansial yang surplus US$ 1,92 miliar pada kuartal II-2021.
Sementara transaksi berjalan mengalami defisit US$ 2,23 miliar atau 0,77% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yang minus US$ 1,06 miliar (0,38% PDB).
Meski transaksi berjalan mengalami defisit dalam 2 kuartal beruntun, tetapi hal tersebut memberikan gambaran roda perekonomian dunia yang kembali berputar. Dibandingkan ketika surplus pada kuartal III dan IV-2020, saat itu roda perekonomian nyaris terhenti akibat penerapan pembatasan sosial hingga lockdown di berbagai negara.
Apalagi jika transaksi berjalan ditelisik sedikit lebih dalam, transaksi perdagangan barang sebenarnya membukukan surplus, bahkan cukup besar yaitu mencapai US$ 8,09 miliar. Naik dibandingkan kuartal I-2021 yang surplus US$ 7,63 miliar.
Namun surplus tersebut langsung hangus oleh defisit di neraca pendapatan primer yaitu minus US$ 8,14 miliar. Defisit ini lebih dalam ketimbang kuartal I-2021 yakni minus US$ 6,75 miliar.
"Defisit neraca pendapatan primer meningkat akibat kenaikan pembayaran imbal hasil investasi berupa dividen seiring perbaikan kinerja korporasi pada periode laporan," sebut laporan BI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
