Laba 'Raksasa' Rokok RI Anjlok, Pengusaha Teriak soal Pajak

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja emiten rokok sepanjang tahun ini masih mengalami penurunan. Tergambar dari laporan keuangan dua emiten produsen rokok terbesar di negara ini yang penjualan dan laba bersihnya turun di semester I tahun ini.
PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) mencatat penurunan laba bersih sebesar 15,29% di sepanjang semester I-2021 menjadi senilai Rp 4,13 triliun, dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 4,88 triliun.
Bahkan penurunan laba ini terjadi kendati pendapatan perusahaan tumbuh 6,47% YoY (year on year) menjadi Rp 47,62 triliun, bertambah dari posisi akhir Juni 2020 yang sebesar Rp 44,73 triliun.
Kemudian, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) juga membukukan penurunan laba bersih di tengah kenaikan penjualan sepanjang semester I tahun ini.
Laba bersih Gudang Garam turun 39,53% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp 2,31 triliun per akhir Juni 2021 dari posisi tahun sebelumnya sebesar Rp 3,82 triliun.
Kendati laba bersih terkoreksi, pendapatan dan penjualan usaha mengalami kenaikan sebesar 12,92% dari posisi semester I 2020 mencapai Rp 53,65 triliun menjadi Rp 60,59 triliun pada periode yang sama tahun ini.
Penjualan dalam negeri masih menopang mayoritas penjualan perusahaan di tahun ini, mendominasi sebesar Rp 59,73 triliun.
Adapun satu produsen besar lainnya yakni Djarum, belum tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) kendati grup milik crazy rich RI kakak-beradik Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono itu memiliki saham mayoritas di PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Di sisi lain, di tengah kinerja emiten yang mengalami penurunan ini, pemerintah menargetkan penerimaan negara dari cukai dalam RAPBN 2022 sebesar Rp 203,92 miliar. Angka tersebut naik 11,9% dibandingkan dengan outlook APBN 2021.
Pemerintah memaparkan, penerimaan cukai rata-rata selalu tumbuh 6,1% selama 2017 hingga 2019. Kenaikan itu khususnya ditopang dari penerimaan cukai hasil tembakau melalui kebijakan kenaikan tarif cukai. Sehingga kemungkinan besar akan dinaikkan di tahun depan.
Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kenaikan cukai hasil tembakau tahun depan mempertimbangkan beberapa hal.
Pertama, terkait aspek sisi kesehatan yakni prevalensi merokok terutama pada anak-anak. Kedua, tenaga buruh yang bekerja langsung di industri rokok dan petani tembakau. Serta dari sisi penerimaan negara dan faktor rokok ilegal.
"Ini keempat hal yang menjadi faktor dalam menentukan kenaikan tingkat cukai hasil tembakau tahun depan," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (16/8/2021).
Namun hal ini sudah membuat para pengusaha hasil tembakau kalang kabut. Bahkan disebutkan bahwa kenaikan tarif cukai di tahun depan bakal memperburuk kondisi yang saat ini terjadi di industri.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) secara terang-terangan menyatakan keberatannya dengan kebijakan tersebut. Bahkan, para pengusaha ini telah menyampaikan langsung pernyataan kepada Presiden Joko Widodo.
Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan mengatakan saat ini kondisi industri hasil tembakau (IHT) sangat terpuruk akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.
Selain itu realisasi penjualan rokok legal menurun drastis, di mana produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) legal tahun 2020 turun sekitar 17,4%. Sedangkan pada kuartal kedua 2021, tren penurunan produksi SKM masih terjadi di kisaran negatif 7,5% dibandingkan tahun 2020.
"Diprediksi hingga akhir tahun ini, penurunan produksi IHT bisa lebih dari 15%. Hal ini akan sangat memukul tidak hanya produsen, tapi juga petani hingga potensi penerimaan negara yang tidak ada tercapai dari pos CHT," kata Hendry dalam siaran persnya, dikutip Jumat (20/8/2021).
Sementara itu, dorongan untuk menaikkan tarif CHT menjadi sinyal bagi oknum rokok ilegal untuk meraup untung. Dalam kajian yang dilakukan GAPPRI, peredaran rokok ilegal sudah sangat bertumbuh subur hingga 15% dari total produksi legal.
"GAPPRI terus berkomitmen mempertahankan tenaga kerja, memberikan nafkah pekerja sepanjang rantai nilai IHT mulai dari petani, pemasok/logistik, pabrik sampai pedagang eceran, menjaga nadi penerimaan negara pajak dan cukai sekitar Rp 200 triliun yang merupakan sumbangsih nyata kami dalam menangani pandemi Covid-19," terangnya.
Para pelaku IHT berharap pemerintah dapat memberi perlindungan yang adil, layaknya perhatian ke sektor industri lain selama situasi sulit ini.
[Gambas:Video CNBC]
Waduh! Laba Gudang Garam Q1 Ambles 29% Jadi Rp 1,75 T
(tas/tas)