
Rupiah Bakal Baik-baik Saja di Tengah Isu Tapering, Apa Iya?

Hal yang senada diungkapkan Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana. Keyakinan itu berdasarkan quantitative easing sekarang jauh berbeda dibandingkan dengan krisis financial pada 2008 silam yang merupakan awal dari cerita taper tantrum 2013. Sehingga ketika ada tapering, respons pasar tidak begitu mengkhawatirkan.
"Saat GFC (Global Financial Crisis) uang keluar dari wilayah yang melakukan QE ke EM (emerging market) (termasuk Indonesia), sementara tahun 2020 lalu uang malah menetap di wilayah masing-masing dan bahkan keluar dari EM (termasuk Indonesia)," kata Wisnu kepada CNBC Indonesia.
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menambahkan, fundamental ekonomi Indonesia juga lebih baik dibandingkan 2013. Salah satu indikatornya adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang tahun ini diperkirakan BI 0,6-1.4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Maka dari itu, ketika isu ini muncul pasar keuangan dalam negeri cenderung stabil. Berbeda dengan pasar saham dunia yang rata-rata turun.
"Namun di Indonesia memang obligasinya cenderung stabil dan asing masih melakukan pembelian bersih di pasar saham, sehingga praktis rupiah tidak melemah terlalu dalam," ujarnya kepada CNBC Indonesia.
Akan tetapi bukan berarti ini isu yang patut diabaikan begitu saja. Tapering baru direncanakan, belum terealisasi. BI dan juga pemerintah patut mempertimbangkan berbagai risiko lain, misalnya pembiayaan APBN tahun depan.
"Ingat walaupun defisit neraca transaksi berjalan kita lebih rendah, tapi defisit fiskal kita yang 4-6% masih relatif besar secara historis. Jadi implementasi dari konsolidasi fiskal menjadi penting," terang Satria.
"Model kami menunjukkan, keseimbangan pembiayaan (atau 'external financing') Indonesia adalah salah satu kelemahan fundamental makroekonominya, terutama jika dibandingkan di regional dan negara investment grade lain."
(mij/dru)[Gambas:Video CNBC]
