Rupiah Bakal Baik-baik Saja di Tengah Isu Tapering, Apa Iya?

Maikel Jefriando & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
19 August 2021 18:20
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu tapering jadi momok menakutkan bagi banyak pihak. Bagaimana tidak, isu yang muncul dari Amerika Serikat (AS) ini berhasil memporak-porandakan para pelaku pasar keuangan dunia.

Kini isu tapering kembali muncul. Selepas data menunjukkan ekonomi AS pulih dengan inflasi dan angka tenaga kerja sesuai ekspektasi. Sehingga mayoritas anggota Federal Open market Committee (FOMC) meyakini tapering lebih baik dilakukan tahun ini.

Pasar bereaksi cepat. Tidak terkecuali di Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah pada hari ini terkena imbasnya.

Lalu bagaimana nasib rupiah ke depannya?

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo tidak menampik kondisi tersebut akan mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. Hanya saja lebih terkendali atau rupiah tidak akan jatuh dengan dramatis.

"Di pasar valas (valuta asing) ada tekanan ke rupiah dan BI tetap berjaga di pasar. Kalau kurang kami lakukan stabilitas secara terukur," ungkapnya dalam konferensi pers virtual, Kamis (19/8/2021)

Perry menjelaskan, isu tapering sebenarnya sudah muncul cukup kuat sejak awal tahun. Dalam pantauan BI, banyak orang awalnya panik, terlihat dari kenaikan yield US Treasury cukup tinggi.

Namun ada komunikasi yang terus menerus dilakukan oleh Bank Sentral AS The Fed kepada pelaku pasar.

"Berapa kali fed berkomunikasi. Berapa sering, dan berapa jelasnya dan inilah The Fed sangat sering berkomunikasi, perkiraan dan bahasanya dan kapannya. Itu tidak dilakukan 1-2 kali dan dilakukan terus-terusan dan pasar juga paham," paparnya.

Hal ini yang menjadi perbedaan dibandingkan 2013 lalu, di mana kebijakan muncul secara mendadak dan tidak pasar panik tanpa ada persiapan.

Perry tidak melihat ada gejolak yang signifikan meskipun ada pengumuman dari the Fed setiap bulan. Menurutnya, kebijakan tapering akan terjadi secara gradual dan selalu dikomunikasikan dengan baik ke pasar.

"Reaksi pasar dilihat dari kenaikan UST tahun depan itu ada yang mengatakan 2% dan 2,2% dan tertinggi 2,5%. Ini semuanya yang kita lihat dan dilihat investor dan dibandingkan dengan SBN dalam negeri kita," kata Perry.

Obligasi Indonesia memang sedang menarik. Mayoritas yield Surat Berharga Negara (SBN) mengalami penurunan. Hanya yield SBN tenor 1 tahun dan 25 tahun yang mengalami kenaikan.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan ini hingga 16 Agustus lalu, terjadi capital inflow sebesar Rp 7,6 triliun.

Bilapun ada gejolak di luar perkiraan, BI sudah menyiapkan berbagai amunisi yang dikenal dengan triple intervention yang meliputi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Indonesia juga memiliki cadangan devisa Indonesia US$ 137,3 miliar setara dengan pembiayaan 8,9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Cukup untuk melakukan stabilisasi

"Ini bisa diantisipasi dan strateginya sudah tertata," tegas Perry.

Halaman Selanjutnya >> Ini Alasan Rupiah Tetap Jaya Jaya Jaya!

Hal yang senada diungkapkan Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana. Keyakinan itu berdasarkan quantitative easing sekarang jauh berbeda dibandingkan dengan krisis financial pada 2008 silam yang merupakan awal dari cerita taper tantrum 2013. Sehingga ketika ada tapering, respons pasar tidak begitu mengkhawatirkan.

"Saat GFC (Global Financial Crisis) uang keluar dari wilayah yang melakukan QE ke EM (emerging market) (termasuk Indonesia), sementara tahun 2020 lalu uang malah menetap di wilayah masing-masing dan bahkan keluar dari EM (termasuk Indonesia)," kata Wisnu kepada CNBC Indonesia.

Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menambahkan, fundamental ekonomi Indonesia juga lebih baik dibandingkan 2013. Salah satu indikatornya adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang tahun ini diperkirakan BI 0,6-1.4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Maka dari itu, ketika isu ini muncul pasar keuangan dalam negeri cenderung stabil. Berbeda dengan pasar saham dunia yang rata-rata turun.

"Namun di Indonesia memang obligasinya cenderung stabil dan asing masih melakukan pembelian bersih di pasar saham, sehingga praktis rupiah tidak melemah terlalu dalam," ujarnya kepada CNBC Indonesia.

Akan tetapi bukan berarti ini isu yang patut diabaikan begitu saja. Tapering baru direncanakan, belum terealisasi. BI dan juga pemerintah patut mempertimbangkan berbagai risiko lain, misalnya pembiayaan APBN tahun depan.

"Ingat walaupun defisit neraca transaksi berjalan kita lebih rendah, tapi defisit fiskal kita yang 4-6% masih relatif besar secara historis. Jadi implementasi dari konsolidasi fiskal menjadi penting," terang Satria.

"Model kami menunjukkan, keseimbangan pembiayaan (atau 'external financing') Indonesia adalah salah satu kelemahan fundamental makroekonominya, terutama jika dibandingkan di regional dan negara investment grade lain."


(mij/dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular