
'Jurus' BI Masih Kalah Dari Isu Tapering, Rupiah Keok Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (19/8/2021) hingga kembali ke atas Rp 14.400/US$. Sejak awal perdagangan rupiah langsung masuk ke zona merah akibat kemungkinan bank sentral AS (The Fed) melakukan tapering di tahun ini. Menjelang akhir perdagangan, Bank Indonesia (BI) mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), tetapi rupiah masih belum mampu bangkit.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah tipis 0,07% ke Rp 14.380/US$. Rupiah perlahan-lahan terus melemah hingga menyentuh Rp 14.420/US$. Di akhir perdagangan, rupiah berhasil memangkas pelemahan menjadi Rp 14.400/US$, melemah 0,21% di pasar spot.
Rupiah langsung tertekan merespon rilis risalah rapat kebijakan moneter The Fed edisi Juli yang menunjukkan peluang tapering di tahun ini, sebab inflasi dikatakan sudah mencapai target dan pemulihan pasar tenaga kerja juga hampir sesuai ekspektasi.
"Melihat ke depan, sebagian besar partisipan (Federal Open Market Committee/FOMC) mencatat bahwa selama pemulihan ekonomi secara luas sesuai dengan ekspektasi mereka, maka akan tepat untuk melakukan pengurangan nilai pembelian aset di tahun ini," tulis risalah tersebut.
Meski demikian, dolar AS tidak serta merta langsung perkasa. Terlihat dari pelemahan rupiah hari ini yang tidak begitu besar. Sebabnya, risalah tersebut juga menunjukkan 'beberapa' anggota FOMC memilih untuk melakukan tapering di awal tahun depan.
Tidak ada detail yang menyebutkan 'beberapa' itu artinya beberapa orang, tetapi jika melihat pernyataan lainnya 'sebagian besar partisipan' bisa diintepretasikan mayoritas anggota FOMC memilih melakukan tapering di tahun ini.
Selain itu, The Fed juga melihat penyebaran virus corona varian delta sebagai ancaman, meski tetap optimistis terhadap perekonomian. The Fed menyebut "ketidakpastian cukup tinggi" akibat lonjakan kasus penyakit akibat virus corona khususnya varian delta.
Hal tersebut membuat beberapa anggota FOMC melihat risiko inflasi kembali melandai, terutama jika perekonomian kembali terpukul.
Data tenaga kerja bulan Agustus yang akan dirilis awal September kini menjadi krusial untuk menentukan seberapa besar peluang tapering di tahun ini.
Dengan kasus Covid-19 yang sedang terus menanjak, maka masih menjadi pertanyaan apakah pemulihan di pasar tenaga kerja masih terus berlanjut, dan menguatkan sikap mayoritas anggota FOMC untuk melakukan tapering di tahun ini, atau justru malah memburuk, sehingga tapering akan diundur ke tahun depan.
The Fed menetapkan target pasar tenaga kerja full employment, dan saat ini dikatakan belum mencapai "kemajuan substansial lebih lanjut" untuk menaikkan suku bunga.
Tetapi The Fed menggarisbawahi tapering dan suku bunga tidak ada kaitannya. Artinya meski The Fed melakukan tapering hingga menghentikan QE, bukan berarti suku bunga akan langsung dinaikkan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Demi Rupiah BI Tahan Suku Bunga
Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan. Langkah ini sesuai dengan ekspektasi pasar.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 18-19 Agustus 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," sebut Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,5%. Seluruh institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus sepakat bulat soal itu, tidak ada dissenting opinion.
Saat ini, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah menjadi fokus utama MH Thamrin.
"Rupiah sampai 18 Agustus 2021 untuk ytd melemah 2,24% dibandingkan akhir 2020," ungkap Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Kamis (19/8/2021)
"Tapi kalau dibandingkan dengan sejumlah negara depresiasi rupiah lebih rendah dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand," jelasnya.
Sementara dibandingkan bulan lalu, nilai tukar rupiah perlahan menguat, yaitu sebesar 0,36%. Ini dikarenakan cukup derasnya aliran modal yang masuk ke dalam negeri.
"Penguatan nilai tukar rupiah didorong aliran masuk modal asing dan menurunnya ketidakpastian global," terang Perry.
BI tetap memastikan menjaga nilai tukar rupiah bergerak sesuai fundamentalnya. Sederet kebijakan dipersiapkan bila ada gejolak pada nilai tukar.
Meski mempertahankan suku bunga, BI berkomitmen menjaga kecukupan likuiditas di perekonomian nasional. Ini dilakukan dengan injeksi likuiditas atau quantitative easing.
"Di pasar keuangan, kondisi likuiditas tetap longgar. Bank Indonesia akomodatif dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI periode Agustus 2021, Kamis (19/8/2021).
Sepanjang tahun ini, lanjut Perry, quantitative easing yang dilakukan bank sentral mencapai Rp 114,5 triliun per 16 Agustus 2021. Selain itu, BI juga masih melakukan pembelian obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN).
"Bank Indonesia juga melakukan pembelian SBN dari pasar perdana sesuai kesepakatan dengan Kementerian Keuangan sebagai implementasi UU 2/2020. Pada 2020 nilainya Rp 131,6 triliun, terdiri dari Rp 56,5 triliun dari lelang utama dan sisanya dari green shoe options," ungkap Perry.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia
