Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Virus corona varian delta benar-benar menjadi ancaman baru, di Amerika Serikat (AS) kasus positif mengalami lonjakan hingga lebih dari 1.000% dalam tempo satu bulan.
Saat kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) melonjak, dolar AS justru semakin perkasa. Hal tersebut tentunya berbeda itu terjadi di Indonesia, rupiah langsung mengalami tekanan.
Melansir data Refinitiv, indeks dolar AS pada perdagangan Selasa melesat 0,54% ke 93,132, yang merupakan level penutupan tertinggi sejak 30 Maret lalu. Indeks ini dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS.
Saat kasus penyakit akibat virus corona melonjak, di mana pun itu pelaku pasar akan keluar dari aset-aset berisiko dan mengalihkan investasinya ke aset aman (safe haven), dan kali ini dolar AS menjadi pilihan.
Masih segar di ingatan para investor ketika terjadi aksi jual besar-besaran di semua aset pada Maret lalu setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi. Saat itu, emas yang merupakan aset safe haven juga ambrol, hanya dolar AS yang terbang tinggi, hingga muncul istilah cash is the king. Bukan sembarang cash, hanya dolar AS.
Saat itu indeks dolar AS menyentuh level 102, tertinggi sejak Januari 2017.
Lonjakan kasus di AS dikhawatirkan akan membuat perekonomian terbesar di dunia tersebut melambat, dan akhirnya merembet ke negara-negara lain. Gencarnya vaksinasi yang dilakukan Amerika Serikat menumbuhkan harapan pertumbuhan ekonomi akan tinggi di tahun ini.
Tetapi, nyatanya meski jadi salah satu negara terdepan dalam vaksinasi, AS masih juga dilanda lonjakan kasus corona varian delta.
Hingga saat ini, lebih dari 50% warga Amerika Serikat sudah mendapat vaksinasi penuh, dan 9% baru mendapat suntikan pertama, berdasarkan Our World in Data.
Sementara itu, hingga awal pekan ini, rata-rata penambahan kasus positif dalam 7 hari di AS sebanyak 133.068 kasus dari total penduduk. Rata-rata tersebut menjadi yang tertinggi sejak 3 Februari lalu.
Sedangkan jika dilihat dari pertengahan Juni lalu sekitar 12.000 kasus, artinya mengalami kenaikan sekitar 1.000%.
"Kita berada di pertengahan musim panas, orang-orang mulai berkumpul, mereka dalam kelompok yang besar. Vaksin telah membuat mereka merasa aman, dan mereka lupa dengan protokol kesehatan," kata dr. Perkin Halkitis, dekan di Rutgers School of Public Health, dalam wawancara bersama CNBC International.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Dikabarkan Umumkan Tapering Bulan Depan
Meski sedang dilanda peningkatan kasus Covid-19, tetapi bank sentral AS (The Fed) masih belum tahu apakah akan berdampak pada perekonomian. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua The Fed, Jerome Powell, yang berbicara tadi malam.
"Masih belum jelas apakah corona delta akan memberikan dampak yang besar terhadap perekonomian, kita akan melihat itu nanti," kata Powell.
Selain itu spekulasi tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) masih menjaga kinerja dolar AS. Sebabnya, The Fed diperkirakan akan mengumumkan tapering pada bulan depan.
Hasil polling terbaru yang dilakukan Reuters menunjukkan sebanyak 28 dari 43 analis memprediksi The Fed akan mengumumkan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) pada bulan September.
Nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar per bulan, dengan rincian US$ 80 miliar untuk pembelian obligasi pemerintah (Treasury) dan US$ 40 miliar untuk efek beragun aset KPR (Mortgage-Backed Security/MBS).
Dalam survei terbaru tersebut, The Fed akan mengurangi pembelian Treasury sebesar US$ 10 miliar, dan MBS sebesar US$ 5 miliar.
Sementara polling mengenai kapan tapering akan mulai dilakukan, sebanyak 26 dari 43 analis memprediksi pada kuartal I-2021. Sementara sisanya mengatakan tapering pertama akan dilakukan di kuartal IV-2021.
Selain itu, mayoritas responden juga melihat QE akan berakhir pada akhir 2022.
 Foto: Refinitiv |
Jim O'Sullivan, kepala ahli strategi makro Amerika Serikat di TD Securities, tidak yakin The Fed akan mengumumkan tapering pada bulan depan. November dikatakan menjadi lebih masuk akal, sebab The Fed akan melihat perkembangan pasar tenaga kerja lebih lanjut.
"Saya tahu beberapa pejabat The Fed berusaha menekan agar pengumuman tapering dilakukan pada rapat kebijakan moneter bulan September, tetapi itu kemungkinan tidak terjadi," kata O'Sullivan, sebagaimana dilansir Reuters.
"November menjadi mungkin jika data tenaga kerja dalam 2 bulan ke depan menunjukkan perbaikan, bulan Desember sebenarnya lebih favorit sebagai pengumuman resmi," tambahnya.
Sementara itu dari pejabat elit The Fed juga berbeda pendapat.
Wakil ketua The Fed, Richard Clarida, pada pekan lalu mengindikasikan tapering bisa dilakukan di tahun ini, dan suku bunga akan dinaikkan pada awal 2023.
"Anda duduk di sini dan melihat inflasi sudah jauh di atas target dan pasar ketenagakerjaan terus membaik menuju level pra-pandemi. Menurut saya, ini terdengar seperti kami harus bersiap," kata Richard Clarida, Wakil Ketua The Fed, dalam wawancara bersama Washington Post.
Pernyataan Clarida kemudian didukung rilis data tenaga kerja AS yang menunjukkan perbaikan lebih lanjut.
Clarida juga melihat, The Fed akan menaikkan suku bunga pertama dua tahun depan.
Sementara itu Presiden Fed wilayah Kansas City, Esteher George, mengatakan standar untuk melakukan tapering sepertinya sudah tercapai dengan kenaikan inflasi saat ini serta pasar tenaga kerja yang sudah membaik.
Presiden Fed wilayah Dallas, Robert Kaplan, dalam interview dengan CNBC International mengatakan The Fed seharusnya mengumumkan timeline tapering pada bulan Depan, dan mulai melakukan di bulan Oktober.
Pendapat berbeda diungkapkan Presiden The Fed wilayah Richmond, Thomas Barkin, mengatakan pasar tenaga kerja AS mungkin perlu waktu beberapa bulan lagi untuk pemulihan dan cukup bagi The Fed untuk mulai melakukan tapering.
"Kita sudah dekat... Saya tidak tahun kapan tepatnya. Ketika semua indikator mendekati target, saya sangat mendukung melakukan tapering dan kembali ke kebijakan moneter normal secepatnya saat perekonomian mendukung," kata Barkin, sebagaimana dilansir Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA