
Duh Gawat! Utang Korporasi RI Bikin Khawatir Sri Mulyani Cs

Ketika Covid menyerang, pemerintah beserta regulator lainnya mengeluarkan kebijakan dengan cepat. Baik untuk penanganan kesehatan maupun ekonomi yang sudah diperkirakan terpukul sangat dalam.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan POJK 48/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Salah satu isinya mengenai restrukturisasi kredit perbankan dan jasa keuangan non-bank (multifinance).
Dalam POJK tersebut setidaknya diatur mengenai fasilitas penyediaan dana baru bagi debitur tanpa mengacu pada penilaian kualitas kredit sebelumnya.
Selain itu, diberikan pula kelonggaran bagi perbankan untuk melakukan restrukturisasi dengan kategori lancar tanpa harus menambah Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
Akan tetapi, dalam Laporan Ekonomi dan Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) disebutkan CKPN perbankan ternyata tetap meningkat.
Per April 2021, perbankan tercatat telah membentuk CKPN hingga mencapai Rp 326 triliun. Lonjakan CKPN terjadi sepanjang tahun 2020 dengan pertumbuhan rata-rata CKPN mencapai 66,8%. Tren pertumbuhan CKPN masih terjadi di tahun 2021 yang mana sampai triwulan I-2021 pertumbuhan rata-rata CKPN sebesar 25,8%.
Rasio CKPN terhadap Non Performing Loan (NPL) sejak akhir tahun 2020 April 2021, terus meningkat hingga mencapai 184,7%.
Kenaikan CKPN juga bisa berpengaruh terhadap performa keuangan bank. Sebab ada aturan pajak yang bisa menimbulkan koreksi laba yang bersifat sementara (temporary difference) yang diakui sebagai Aset Pajak Tangguhan.
"Apabila bank telah mencadangkan CKPN yang cukup tinggi, namun di akhir tahun akan dikoreksi sesuai peraturan perpajakan, maka pada akhirnya akan berdampak pada performa keuangan bank tersebut. Untuk itu, perlu ada titik temu terkait hal tersebut, yang tidak hanya memberikan solusi pedoman bagi perpajakan, tetapi juga memperhatikan aspek prudensial perbankan," tulis laporan tersebut.
Sebab itu, BKF menyiapkan tiga skenario yang mungkin terjadi atas kondisi ini:
Pertama, debitur terdampak pandemi yang melalui masa restrukturisasi berhasil pulih kembali. Hal ini tidak menjadi menjadi masalah bagi industri perbankan.
Kedua, debitur terdampak pandemi mulai pulih tetapi aktivitas ekonominya belum kembali normal. Untuk skenario kedua ini, dapat dilakukan alternatif perpanjangan restrukturisasi karena debitur memiliki harapan untuk pulih, sembari bank mengantisipasi dengan CKPN yang cukup.
Ketiga, debitur tidak berhasil pulih dikarenakan terdampak pandemi sangat dalam. Untuk kategori ketiga, perbankan harus bersiap mengakui aset ini sebagai NPL. Oleh karena itu, perbankan harus mulai secara bertahap mengakui cadangan kerugian sebagai bentuk antisipasi potensi financial shock.
Terkait dengan restrukturisasi ini, OJK sudah mengindikasikan akan memperpanjang penerapan aturan mengenai restrukturisasi kredit perbankan. Aturan kebijakan ini paling lambat akan dikeluarkan paling lambat akhir Agustus 2021.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan pertimbangan perpanjangan aturan ini adalah penerapan pembatasan mobilitas masyarakat karena terus meningkatnya kasus Covid-19.
"Kami melihat adanya pembatasan mobilitas masyarakat akibat meningkatnya angka yang terpapar Covid 19 sekarang ini bisa menyebabkan upaya pemulihan ekonomi yang dijalankan Pemerintah terhambat. Oleh karena itu, OJK melihat adanya potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan," kata Wimboh dalam keterangannya, dikutip Jumat (30/1/2021).
Penerapan restrukturisasi perbankan ini diatur dalam POJK Nomor 48 dan restrukturisasi pembiayaan di Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank berdasarkan Peraturan OJK Nomor 58/POJK.05/2020.
Sebelumnya OJK memperpanjang restrukturisasi kredit yang berakhir hingga 31 Maret 2022. Restrukturisasi kredit sebetulnya berakhir di Maret 2021, tetapi melalui POJK 11/2020 kemudian diperpanjang hingga 31 Maret 2022.
[Gambas:Video CNBC]
