
Ini 5 Emiten LQ45 yang sudah 'Pulih' dari Covid, Layak Serok?

Jakarta, CNBC Indonesia- Kedatangan virus Covid-19 yang akhirnya menjadi pandemi di Indonesia memang memukul telak ekonomi Tanah Air.
Penghentian sementara roda perekonomian pada April 2020 yang saat itu masih bernama PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) hingga pembatasan pergerakan masyarakat yang kini bernama PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Level 4 membuat ekonomi RI porak poranda.
Hal ini tentu saja berdampak pada emiten-emiten yang melantai di Busa Efek Indonesia (BEI) yang memang mayoritas laporan keuangan tahun 2020 terdampak parah.
Berbagai sektor utama seperti finansial hingga konstruksi menjadi salah satu yang terdampak paling dalam. Perbankan harus menyiapkan pencadangan ekstra karena pandemi menyebabkan resiko gagal bayar utang naik serta kenaikan kredit macet yang mengerek angka NPL. Pencadangan yang naik tentu saja pada akhirnya menggerus laba bersih perbankan tersebut.
Sedangkan untuk konstruksi serta sektor pendukungnya, hal yang lebih parah terjadi yakni proyek konstruksi tahun lalu banyak yang di hentikan untuk sementara saat terjadinya PSBB sehingga perusahaan konstruksi dan sektor pendukungnya yang cenderung padat modal, terpaksa merugi.
Meskipun demikian, ketika kinerja keuangan tahun lalu buruk, akan tetapi mulai pulih di tahun ini, pertumbuhan secara tahunan akan terlihat melesat kencang. Hal inilah yang biasa disebut low base effect.
Perbankan yang sebelumnya labanya tipis karena pencadangan yang tinggi, dengan diputarnya roda ekonomi kembali dan pelonggaran aturan lockdown, dunia usaha kembali berangsur pulih sehingga terjadinya normalisasi kredit yang mulai kembali lancar sehingga NPL kembali naik dan pencadangan dapat dikurangi yang menyebabkan laba bersih akan kembali normal.
Dari sektor konstruksi dan pendukungnya, proyek-proyek pembangunan dan infrastruktur yang tadinya stop beroperasi mulai kembali berjalan tentunya dengan protokol kesehatan yang ketat.
Memasuki PPKM level 4 saat ini pun beberapa proyek konstruksi strategis nasional diijinkan beroperasi meskipun tentunya harus memenuhi standar kesehatan yang ketat.
Pertanyaannya, apakah masih menarik mengkoleksi saham-saham yang sukses pulih dari Covid-19 ini?
Apakah valuasinya masih murah?
Berikut saham-saham LQ45 yang laba bersihnya tumbuh paling pesat di kuartal ke 2 tahun 2021 serta valuasinya.
Seperti sudah disebutkan di atas, mayoritas saham-saham dengan pertumbuhan laba tertinggi disokong oleh sektor perbankan dan sektor penunjang konstruksi.
Di posisi pertama kenaikan laba tertinggi dibukukan oleh emiten semen PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk (INTP) tercatat laba bersih INTP berhasil naik kencang 238% dari posisi tahun lalu di angka Rp 69,6 miliar menjadi Rp 235 miliar.
Secara valuasi, menggunakan metode valuasi harga dibandingkan dengan laba bersih (PER, price to earnings ratio) maka INTP diperdagangkan dengan PER di angka 31,38 kali.
Sedangkan apabila menggunakan valuasi harga dibandingkan dengan nilai buku (PBV, price to book value) maka PBV INTP berada di angka 1,62 kali.
Selanjutnya di posisi kedua muncul nama perbankan pelat merah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang berhasil mencatatkan kenaikan laba bersih 177% dari posisi Q2 tahun lalu di angka Rp 2,37 triliun menjadi Rp 6,58 triliun di Q2 tahun ini.
Valuasi BMRI juga masih tergolong murah dimana PER berada di angka 10,87 kali dan PBV berada di angka 1,44 kali.
Selanjutnya posisi keempat diisi oleh PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang laba bersihnya berhasil tumbuh 26,09% dari Rp 5,65 triliun menjadi Rp 7,41%. Dari sisi valuasi BBCA memiliki PER di angka 26 kali sedangkan PBVnya berada di angka 4 kali.
Menariknya, berbeda dengan keempat emiten lain di sini, laba BBCA berhasil tumbuh bukan karena low base effect karena dengan NPL (kredit bermasalah, non performing loan) yang paling rendah di antara perbankan BUKU IV lain, maka pencadangan BBCA tak perlu sebanyak perbankan lain. Dengan demikian BBCA masih mampu bertumbuh di tengah pandemi corona.
Catat saja laba bersih BBCA berhasil tumbuh 9% dibandingkan dengan tahun Q2 tahun 2019 sebelum terjadinya pandemi, sebuah pencapaian yang tak mampu dibukukan oleh emiten-emiten lain di daftar ini.
Terakhir tercatat emiten anak berat anak usaha Astra, PT United Tractors Tbk (UNTR) juga berhasil membukukan kenaikan laba yang impresif sebesar 18% yakni dari posisi Q2 tahun lalu di angka Rp 2,23 triliun menjadi Rp 2,64 triliun di kuartal yang sama tahun ini,
UNTR juga menjadi saham yang paling murah di daftar ini baik secara valuasi PER maupun PBV. Tercatat PER UNTR berada di angka 7,82 kali sedangkan PBV-nya berada di angka 1,09 kali.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham