Surat Utang Pemerintah Laku Keras, Rupiah Trengginas!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 July 2021 08:20
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat pada pekan ini. Aliran modal masuk, terutama di pasar obligasi pemerintah, menjadi modal keperkasaan mata uang Ibu Pertiwi.

Sepanjang pekan ini, rupiah menguat 0,21% di hadapan mata uang Negeri Paman Sam secara point-to-point. Dolar AS terdorong kian jauh di bawah Rp 14.500.

Namun rupiah tidak sendiri. Hampir seluruh mata uang utama Asia berhasil membukukan apresiasi di hadapan dolar AS. Hanya dolar Hong Kong yang masih melemah secara mingguan.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada minggu ini:

kurs

Dari dalam negeri, penguatan rupiah disokong oleh arus modal masuk di pasar keuangan. Di pasar saham, investor memang mencatatkan jual bersih (net sell) lebih dari Rp 1 triliun tetapi tidak demikian di pasar obligasi pemerintah.

Per 27 Juli 2021, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) adalah Rp 965,56 triliun. Bertambah Rp 2,79 triliun dibandingkan posisi sepekan sebelumnya.

Pekan ini, lelang SBN berjalan sukses. Pemerintah lelang enam seri Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di mana penawaran yang masuk mencapai Rp 56,69 triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah memenangkan Rp 13,15 triliun, lebih tinggi dibandingkan target indikatif yang senilai Rp 12 triliun.

Kemudian pada 28 Juli 2021, pemerintah berhasil menjual SBN berdenominasi valas yaitu dolar AS dan euro. Ada tiga seri SBN dolar AS dengan nilai total penerbitan US$ 1,65 miliar. Sementara untuk SBN euro hanya ada satu seri dengan nilai penerbitan EUR 500 juta.

"Memanfaatkan sentimen investor yang kuat dan kondusifnya pasar AS, pemerintah secara cepat dan oportunistik memutuskan untuk melakukan transaksi penerbitan SUN Valas dual-currency yang kedua di tahun ini. Hasil dari penerbitan kali ini akan digunakan untuk memenuhi pembiayaan APBN secara umum, termasuk untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19," sebut keterangan tertulis Kementerian Keuangan.

Halaman Selanjutnya --> Dolar AS Sedang Melempem

Sementara dari sisi eksternal, dolar AS memang sedang lesu. Sepanjang pekan ini, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,79% secara point-to-point.

Hasil rapat bulanan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tidak berpihak kepada mata uang Negeri Adidaya. Seperti yang sudah diduga, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25%. The Fed juga tetap mempertahankan besaran pembelian surat berharga (quantitative easing) yaitu US$ 120 miliar per bulan.

Dalam konferensi pers usai rapat, Powell kembali menegaskan bahwa The Fed tidak akan terburu-buru untuk 'mencabut saklar'. Meski Powell melihat pemulihan ekonomi AS masih berjalan di jalur yang benar, tetapi dirinya ingin memastikan pasar tenaga kerja bangkit terlebih dulu.

"Saya ingin melihat angka tenaga kerja yang kuat dalam beberapa bulan ke depan sebelum mengurangi besaran pembelian aset," tegas Powell, seperti dikutip dari Reuters.

Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), lanjut Powell, memang menjadi risiko besar bagi perekonomian Negeri Paman Sam. Apalagi kini sudah hadir varian delta yang lebih mudah menular ketimbang sebelumnya. Namun Powell percaya bahwa AS sudah belajar banyak dalam hal penanganan pandemi.

"(Virus corona varian delta) akan menimbulkan konsekuensi kesehatan yang luar biasa. Namun dari gelombang-gelombang serangan virus corona sebelumnya, terlihat bahwa dampak ekonominya semakin berkurang.

"Sepertinya kita sudah belajar dalam menangani pandemi dengan dampak ekonomi yang lebih sedikit. Dengan vaksinasi dan dukungan kebijakan, berbagai indikator ekonomi dan ketenagakerjaan akan terus membaik," jelas Powell.

Sikap The Fed yang belum memberikan sinyal terang-benderang soal pengetatan kebijakan (tapering off) membuat dolar AS kehilangan pegangan. Tanpa kejelasan kapan The Fed bakal mengurangi 'dosis' quantitative easing, maka pasokan dolar AS masih akan terus melimpah sehingga 'harganya' menjadi murah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular