Dear Trader Valas! Cek nih Potensi Cuan dari Hard Currencies

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 July 2021 16:50
Dollar euro bank

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa pekan terakhir dolar Amerika Serikat (AS) masih mendominasi pasar valuta asing. Hal ini terlihat dari indeks dolar AS pada Rabu (21/7/2021) pekan lalu menyentuh 93,191, level tertinggi dalam nyaris 3 bulan terakhir.

Indeks dolar AS dibentuk dari 6 mata uang (euro, yen, poundstelring, dolar Kanada, franc, dan krona Swedia) negara yang merupakan mitra dagang utama Amerika Serikat. Indeks ini juga dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS, semakin tinggi nilainya maka semakin kuat juga dolar AS.

idrFoto: Datawrapper

Sejak mencapai level tertinggi dalam nyaris 3 bulan tersebut, indeks dolar AS terus menurun. Maklum saja, Kamis dini hari waktu Indonesia ada bank sentral AS yang akan mengumumkan kebijakan moneter, dan memberikan dampak signifikan terhadap arah pergerakan dolar AS.

Sehingga, para pemain valuta asing (valas) akan menaruh perhatian besar pada pengumuman tersebut. Yang akan dilihat, yakni mengenai tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).

Di luar pengumuman kebijakan moneter tersebut, hasil polling Reuters menunjukkan mayoritas hard currencies masih akan menguat melawan dolar AS dari level saat ini. Hard currencies merupakan mata uang dan negara dengan perekonomian dan situasi politik yang stabil, serta likuditasnya tinggi.

Semua mata uang yang membentuk indeks dolar, kecuali krona Swedia termasuk dalam hard currencies, ditambah satu lagi yakni dolar Australia.

Hasil polling Reuters terhadap beberapa institusi finansial menunjukkan median nilai tukar euro terhadap dolar AS di akhir tahun ini berada di US$ 1,2100. Dibandingkan level penutupan perdagangan Selasa kemarin US$ 1,1814, nilai tukar euro berpeluang menguat sekitar 2,5%.

Berikut median nilai tukar hard currencies di akhir 2021, berdasarkan polling Reuters.

idr

Tabel tersebut menunjukkan poundsterling masih berpeluang menguat 1,63% hingga akhir tahun nanti, dan dolar Australia memimpin dengan potensi kenaikan hampir 6%.

Kemudian untuk dolar Kanada, franc, dan yen, persentase negatif berarti mata uang tersebut menguat, sebab kuotasinya berada di belakang dolar AS, yakni USD/CAD, USD/CHF, dan USD/JPY. Berbeda dengan tiga mata uang lainnya yang kuotasinya berada di depan dolar AS.

Melihat tabel tersebut, median polling Reuters memperkirakan franc dan yen akan melemah melawan dolar AS di sisa tahun ini dari level penutupan perdagangan Selasa kemarin.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pengumuman The Fed Jadi Fokus, tetapi Perhatikan Bank Sentral Negara Lain

The Fed akan mengumumkan kebijakan moneter Kamis dini hari nanti. Jika The Fed mengindikasikan tapering akan dilakukan dalam waktu dekat, lebih spesifik lagi di tahun ini, maka dolar AS akan sangat perkasa. Hasil polling Reuters yang menunjukkan mayoritas hard currencies akan menguat bisa jadi berbalik melemah.

Sebab, The Fed akan menjadi bank sentral yang terdepan dalam mengetatkan kebijakan moneter.

Sebaliknya, jika tapering dikatakan masih jauh, dolar AS akan berbalik jeblok.

Di tengah kondisi perekonomian global yang dipenuhi ketidakpastian akibat kembali melonjaknya kasus penyakit virus corona (Covid-19) varian delta, The Fed tentunya tidak ingin membuat gejolak berlebihan di pasar finansial. Hal tersebut berisiko menghambat pemulihan ekonomi, apalagi jika dolar AS sangat perkasa.

Oleh karena itu, The Fed kemungkinan akan tetap dengan sikap sebelumnya, yakni sudah mulai membahas tapering tetapi perlu melihat perkembangan substansial lebih lanjut sebelum memulainya.

Imre Speizer, analis dari Westpac Bank mengatakan kemungkinan besar tidak ada kejutan dari The Fed, dan pelaku pasar akan memperhatikan adanya perubahan sikap atau sesuatu yang ditekankan.

"Mereka sebelumnya mengatakan sudah membicarakan tapering dan hal itu akan dikatakan lagi, begitu juga dengan inflasi yang tinggi dikatakan sementara," kata Speizer, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (28/7/2021).

Jika itu terjadi, maka dolar AS yang sedang perkasa berisiko ambruk, sebab yield obligasi (Treasury) AS sedang merosot.

Eric Nelson, ahli strategi makro di Well Fargo Securities yang berada di New York mengatakan tidak yakin dolar AS akan mampu mempertahankan penguatan dalam beberapa pekan ke depan, sebab yield obligasi (Treasury) AS sedang mengalami penurunan.

"Dolar AS terlihat lelah setelah reli dalam beberapa pekan terakhir. Dolar AS terlihat kehilangan momentum, baik dari perspektif fundamental maupun teknikal," kata Nelson, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (22/7/2021).

Pada pekan lalu, indeks dolar AS mencapai level tertinggi sejak awal April di 93,191. Kenaikan indeks dolar AS tersebut berbanding terbalik dengan yield Treasury AS tenor 10 tahun yang menyentuh level terendah sejak pertengahan Februari 1,128%. Yield Treasury kini menuju penurunan dalam 4 bulan beruntun. Sejak akhir Maret hingga saat ini, yield tersebut sudah turun lebih dari 50 basis poin.

Pergerakan yield Treasury sering dikaitkan dengan suku bunga di AS. Ketika yield Treasury naik, pelaku pasar berekspektasi The Fed akan mengetatkan kebijakan moneter dengan tapering hingga menaikkan suku bunga.

Sehingga ketika yield Treasury mengalami penurunan, artinya ekspektasi pengetatan moneter meredup.

Selain itu, ke depannya perlu juga diperhatikan perkembangan penyebaran Covid-19. Dalam kondisi saat ini, negara-negara yang terlebih dulu sukses meredam penyebaran Covid-19 mata uangnya lebih menjadi favorit.

Sebab, saat virus corona berhasil diredam, roda perekonomian akan berputar lebih cepat, produk domestik bruto (PDB) tumbuh lebih tinggi, dan bank sentralnya kemungkinan akan mengetatkan kebijakan moneter. Bank sentral yang terlebih dahulu mengetatkan kebijakan moneter berpotensi membuat mata uangnya perkasa.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Investasi Valas di Fisik atau Trading di Pasar Berjangka

Valas dalam bentuk fisik bisa menjadi salah satu pilihan investasi. Cuan diperoleh ketika valas yang dijadikan investasi nilainya menanjak. Meski demikian keuntungan yang diperoleh jika berinvestasi di hard currencies tidak terlalu besar.

Dolar Australia misalnya, berpeluang menguat sekitar 6% di akhir tahun nanti melawan dolar AS, berdasarkan median polling Reuters.

Untuk mendapat cuan yang lebih besar di pasar valas, bisa dengan trading di pasar berjangka. Tetapi ketika potensi cuan lebih besar, risikonya juga setimpal. Trading valas di pasar berjangka dikategorikan sebagai high risk high return. Trading di pasar berjangka kerap dijadikan strategi untuk hedging.

Selain potensi cuan yang jauh lebih besar, trading di pasar berjangka juga bisa dengan cepat merubah posisi. Hal tersebut bisa terjadi karena ada istilah two ways opportunity atau peluang dua arah.

Secara sederhana dalam trading terdapat dua posisi yang bisa diambil, yakni posisi beli (long) atau posisi jual (short), karena instrumen yang ditransaksikan di pasar forex berpasangan. Seperti disebutkan sebelumnya, misalnya poundsterling dengan dolar (GBP/USD), euro dengan dolar (EUR/USD).

Saat ini, euro diperkirakan akan menguat melawan dolar AS, tetapi hal tersebut bisa berubah jika The Fed memberikan sinyal tapering dan dolar AS menjadi sangat perkasa.

Dalam kondisi tersebut, berinvestasi euro secara fisik tentu berisiko mengalami kerugian. Sementara jika trading di pasar berjangka, bisa langsung merubah dari posisi long EUR/USD menjadi short. Hal tersebut dinamakan two ways opportunity.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Pamer, Cek Nih Keperkasaan Rupiah Lawan Mata Uang Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular