
RI Mau 'Buang Dolar', Apa Dampaknya?

Tak hanya negara maju dan negara berkembang yang pertumbuhan ekonomi sudah cukup bagus. Negara Zimbabwe juga pernah melakukan de-dolarisasi.
Namun, alasan Zimbabwe melakukan buang dolar tidak sama seperti negara-negara besar itu. Jika Rusia, China dan negara maju lainnya membuang dolar karena ingin mengurangi pengaruh Amerika Serikat (AS) dan dolar pada negara mereka, alasan Zimbabwe membuang dolar adalah karena 'gagal' dalam memulihkan ekonominya yang kacau balau.
Seperti dilaporkan oleh media Bulawayo 24, Zimbabwe telah berhenti menggunakan mata uang lokalnya pada 9 April 2009 dan menggantinya dengan sekeranjang mata uang ganda seperti rand Afrika Selatan, pound Inggris, pula Botswana, yen Jepang, euro, dan dolar AS.
Langkah Zimbabwe membuang mata uang negaranya sendiri adalah karena nilainya telah tergerus oleh inflasi yang sangat tinggi pada 2017, yaitu sebesar 231 juta persen.
Akibat inflasi yang liar ini negara Afrika Selatan ini mengalami de-industrialisasi dan kekurangan pasar barang-barang dan jasa-jasa pokok.
Oleh karenanya, pemerintahnya tidak punya pilihan selain menerima tuntutan pasar untuk menggunakan dolar AS dalam bertransaksi secara sah. Ini juga dilakukan setelah negara gagal meredenominasi mata uang lokal melalui penghapusan nol sebanyak tiga kali.
Digunakannya Dolar AS membuat mesin cetak uang bank sentral kelebihan dana, tetapi hal itu mampu menstabilkan ekonomi dan menjinakkan hiperinflasi.
Mengadopsi banyak mata uang juga memungkinkan Zimbabwe untuk menghilangkan risiko nilai tukar, membuat tabungan, mengelola suku bunga, meningkatkan iklim investasinya, melanjutkan intermediasi keuangan, mengurangi biaya transaksi dalam perdagangan dan memperlengkapi kembali produksi melalui akses jalur kredit luar negeri.
Akibat hal itu, tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun, di mana semua sektor ekonomi mencatatkan pertumbuhan berturut-turut antara tahun 2009 hingga 2015.
Namun, menggunakan banyak mata uang ini ternyata memiliki dampak buruk. Penggunaan banyak mata uang asing ini membuat bisnis asing merasa diuntungkan untuk menjual barang dagangan mereka di Zimbabwe karena tingginya harga yang dibebankan secara lokal.
Sayangnya, keuntungan yang diperoleh oleh bisnis asing ini tidak disimpan di Zimbabwe sebagai tabungan atau investasi ulang sehingga mereka tidak berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Tanpa kebijakan proteksionis yang memadai, produsen lokal juga kerap kesulitan bersaing dengan impor dari negara Afrika Selatan lainnya karena mahalnya biaya produksi dalam negeri.
Pada Agustus 2015, Departemen Keuangan Zimbabwe mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Asumsi Reserve Bank of Zimbabwe (RBZ) yang melibatkan pemerintah dengan asumsi utang warisan RBZ lebih dari US $ 1,4 Miliar melalui penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (TB).
Tujuan dari RUU asumsi utang ini adalah untuk membersihkan neraca bank sentral dan memungkinkannya untuk melanjutkan peran kliringnya melalui sistem RTGS (pencetakan uang elektronik).
Akibat hal ini, pasokan uang negara tumbuh lebih dari US$ 1 miliar dalam waktu kurang dari 12 bulan dan akun valuta asing Nostro menurun karena eksternalisasi mata uang asing.
Investor yang waspada mulai melepas TB bertenor 5 tahun di pasar lokal dengan diskon untuk kredit luar negeri. Ini terjadi setelah bank sentral negara semakin jelas terlihat tidak memiliki kemampuan untuk membayar TB dalam mata uang asing tanpa mencetak mata uang lokal dalam waktu dekat.
Akhirnya, pada 24 Juni 2019 pemerintah pun mencetak dolar Zimbabwe dengan pelarangan multicurrency. Mata uang lokal mulai diperdagangkan di pasar antar bank pada Februari 2019, tetapi telah kehilangan lebih dari 85% nilainya dalam 8 bulan terakhir.
Inflasi resmi telah melonjak lebih dari 353% pada September 2019 dan ekonomi Zimbabwe sama berfluktuasinya dengan mata uang yang digunakannya.
(chd/sef)[Gambas:Video CNBC]
