
Kurs Tengah BI, Rupiah Tembus ke Atas Rp 14.500/US$ Lagi!

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah melemah lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (15/7/2021).
Meski cukup tipis, tetapi rupiah kembali ke atas Rp 14.500/US$ di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Kabar buruk dan kabar baik datang dari dalam negeri yang membuat rupiah mampu memangkas pelemahannya hari ini, khususnya di pasar spot.
Kurs tengah BI atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), hari ini ditetapkan di Rp 14.503/US$, melemah 0,07% dari kemarin. Sebelumnya, kurs JISDOR sudah sukses berada di bawah Rp 14.500/US$ dalam 3 hari beruntun di pekan ini.
Sementara itu di pasar spot, rupiah melemah tipis 0,03% di Rp 14.480/US$ setelah sebelumnya sempat melemah 0,24% di Rp 14.510/US$.
Mata Uang Garuda mampu memangkas pelemahan di pasar spot setelah data menunjukkan ekspor-impor masih meroket di bulan Juni.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus pada Juni 2021. Ini karena ekspor masih lebih tinggi ketimbang impor.
Pagi tadi, Kepala BPS Margo Yuwono mengumumkan nilai impor Indonesia bulan lalu adalah US$ 17,23 miliar. Melesat 60,12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy). Terhadap Mei 2021 (month-to-month/mtm), impor tumbuh 21,03%.
Sementara itu nilai ekspor Juni 2021 diumumkan sebesar US$ 18,55 miliar. Dengan demikian, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 1,32 miliar.
Kali terakhir Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan adalah pada April tahun lalu. Artinya, neraca perdagangan terus mengalami surplus selama 14 bulan beruntun.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan impor tumbuh 48,675% yoy dan neraca perdagangan surplus US$ 2,15 miliar. Sementara konsensus versi Reuters memperkirakan impor naik 51,35% dan neraca perdagangan surplus US$ 2,23 miliar.
Tingginya impor Indonesia menjadi indikasi perekonomian dalam negeri masih bergeliat, meski menghadapi lonjakan kasus Covid-19.
Tetapi, pada bulan Juli masih menjadi tanda tanya, sebab Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat mulai diterapkan mulai tanggal 3 hingga 20, bahkan kemungkinan akan diperpanjang. Sebabnya rekor penambahan kasus penyakit virus corona (Covid-19) pecah lagi, menjadi 54.517 orang kemarin, melewati rekor hari sebelumnya 47.899 orang.
Kemungkinan perpanjangan tersebut tersirat dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"PPKM Darurat selama 4-6 minggu dijalankan untuk menahan penyebaran kasus. Mobilitas masyarakat diharapkan menurun signifikan," tulis bahan paparan Sri Mulyani saat rapat bersama Banggar DPR, Senin (12/7/2021).
Perpanjangan PPKM Mikro Darurat tentunya berisiko memperlambat laju pemulihan ekonomi, sebab pergerakan warga dibatasi. Impor yang menjadi indikasi geliat ekonomi di dalam negeri berisiko menyusut lagi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> "Setan" Tapering Diusir, Dolar AS Tertekan
Beruntung bagi rupiah, dolar AS saat ini sedang tertekan akibat kembali meredupnya spekulasi tapering di tahun ini.
Kurang dari dua kali 24 jam, "setan" tapering yang sebelumnya menggentayangi pasar finansial global mulai menghilang lagi. Penyebabnya, pernyataan ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed).
"Setan" tapering sebelumnya muncul lagi di pasar finansial global setelah rilis data inflasi AS.
Inflasi yang dilihat berdasarkan Consumer Price Index (CPI) melesat 5,4% di bulan Juni dari periode yang sama tahun lalu (year-on-year/YoY). Kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2008, dan lebih tinggi dari perkiraan para ekonom yang disurvei Dow Jones yang memperkirakan pertumbuhan 5%.
![]() |
Sementara itu inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,5% YoY, jauh di atas prediksi 3,8% dan tertinggi sejak September 1991.
The Fed sebenarnya menggunakan inflasi berdasarkan Personal Consumption Expenditure (PCE) sebagai dasar untuk menetapkan kebijakan moneter termasuk tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE). Tetapi dat inflasi CPI bisa memberikan gambaran seberapa tinggi inflasi PCE nantinya.
Data terakhir menunjukkan inflasi inti PCE di bulan Mei tumbuh 3,4% YoY. Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.
Pascarilis data inflasi tersebut spekulasi The Fed akan melakukan tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) di tahun ini menguat lagi, pasar finansial pun goyang. Bursa saham global merosot, begitu juga dengan mata uang emerging market.
Tetapi, ketua The Fed Jerome Powell sekali meredam spekulasi tapering di tahun ini.
Powell berbicara dalam rangka Semi Annual Monetary Policy Report di hadapan House Financial Services Committee kemarin malam, dan mengatakan belum akan merubah kebijakan moneternya. Sementara itu inflasi tinggi di AS, yang kembali memunculkan spekulasi tapering di tahun ini, sekali lagi ditegaskan hanya bersifat sementara, dan ke depannya tekanan inflasi akan moderat.
Menurut Powell, tolak ukur The Fed yakni "kemajuan substansial" menuju pasar tenaga kerja penuh (full employment) dan stabilitas harga masih "jauh" dari kata tercapai. Tetapi ia juga mengakui para anggota The Fed sudah mulai membahas mengenai tapering.
"Kondisi pasar tenaga kerja terus membaik, tetapi masih jauh dari kata mencapai target. Pertumbuhan tenaga kerja seharusnya semakin kuat dalam beberapa bulan ke depan sebab kesehatan publik mengalami peningkatan, dan beberapa faktor yang terkait pandemi sudah mulai menghilang," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International.
Menurut Powell ada sekitar 7,5 juta pekerjaan yang masih belum kembali seperti saat sebelum pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Oleh karena itu, QE senilai US$ 120 miliar per bulan masih akan dilakukan demi mendukung perekonomian.
"Siap langkah untuk mengurangi dukungan ke perekonomian, pertama dengan mengurangi pembelian aset yang saat ini senilai US$ 120 miliar per bulan, tetapi itu masih 'jauh' untuk dilakukan," kata Powell.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia
