Waspada! Bursa Asia Mayoritas Merah, Bisa Nular ke IHSG

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Kamis, 15/07/2021 08:51 WIB
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia kembali dibuka melemah pada perdagangan Kamis (15/7/2021), jelang rilis data pertumbuhan ekonomi China pada kuartal kedua tahun 2021.

Tercatat indeks Nikkei Jepang dibuka melemah 0,4%, Hang Seng Hong Kong terdepresiasi 0,15%, Shanghai Composite China terkoreksi 0,25%, dan Straits Times Singapura turun tipis 0,06%. Sementara untuk indeks KOSPI Korea Selatan dibuka naik 0,13% pada pagi hari ini.

Data pertumbuhan ekonomi China pada kuartal II-2021 akan dirilis pada hari ini pukul 10:00 waktu setempat atau pukul 09:00 WIB.
Konsensus memprediksi pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua secara tahunan (year-on-year/YoY) akan berada di angka 8,1%, turun jauh dari posisi kuartal kedua tahun 2020 di angka 18,3%.


Sementara secara basis kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ), konsensus memprediksi ekonomi China juga akan sedikit melambat ke angka 0,6% pada kuartal II-2021, dari sebelumnya pada kuartal I-2021 di angka 1,2%.

Melambatnya perekonomian China terjadi karena harga bahan baku yang naik memberatkan pabrik-pabrik di China dan kembali melesatnya kasus virus corona (Covid-19) di beberapa wilayah menyebabkan pengeluaran konsumsi kembali turun.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup menguat terbatas pada perdagangan Rabu (14/7/2021) waktu setempat, setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terindikasi tak akan buru-buru menanggalkan kebijakan moneter longgarnya.

Indeks acuan Dow Jones naik 0,13% ke level 34.933,23 dan S&P 500 terapresiasi 0,12% ke level 4.374,30. Meskipun demikian indeks acuan Nasdaq dengan komponen saham teknologi terpaksa terkoreksi 0,22% ke level 14.644,95.

"Pasar sudah terbiasa dengan ungkapan 'suku bunga rendah lebih lama' dan komentar [Jerome] Powell hari ini tidak serta-merta mengubahnya," tutur Diane Swonk, Kepala Ekonom Grant Thornton, kepada CNBC International.

Bos The Fed, Jerome Powell baru saja memberikan pidato di depan Komite Layanan Keuangan dan harus meyakinkan anggota Kongres bahwa kebijakan uang longgar yang dijalankan masih layak dipertahankan meski inflasi kemarin menyentuh level tertinggi sejak Agustus 2008.

Mr. Jay Powell meredakan ketakutan yang sempat terjadi di pasar karena angka inflasi AS bulan Juni yang meroket melebihi ekspektasi.

Bos bank sentral AS tersebut menyebutkan bahwa bank sentral bisa menunggu sebelum mulai melonggarkan pembelian obligasinya, meski kenaikan angka inflasi, yang menurut Powell bakal moderat akhir tahun ini.

"Angka inflasi memang lebih tinggi dari yang diharapkan, akan tetapi ini kenaikan ini masih konsisten dengan apa yang sudah dibahas sebelum-sebelumnya. Ini hanyalah badai permintaan yang tinggi dan lemahnya penawaran, hal ini akan terlewati dalam waktu dekat." Ujar Powell pada pertemuan sang Gubernur The Fed dengan House Financial Services Comitee.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan di pasar langsung melemah, dan terus menurun setelah rilis indeks harga produsen (producer price index/PPI) per Juni menguat melampaui angka inflasi.

Sebanyak 23 emiten yang menjadi konstituen indeks S&P 500 akan merilis kinerja keuangannya pekan ini. FactSet memperkirakan laba bersih mereka akan tumbuh 64% secara tahunan. Sementara itu, UBS menaikkan target indeks S&P 500 akhir tahun nanti menjadi 4.500.

Di ranah politik, Menteri Keuangan AS, Janet Yellen mengatakan dirinya tak berencana untuk mengaktifkan kembali diskusi reguler dengan China dan memilih untuk melanjutkan kebijakan suspensi yang diberlakukan oleh presiden sebelumnya, Donald Trump.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(hps/hps)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Iran Dibombardir Israel, Bursa Asia & IHSG "Kebakaran"