Analisis Bagian 3

IPO Unicorn Indonesia: The Next "Amazon" atau "Boo.com"?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
14 July 2021 09:25
Amazon
Foto: Reuters

Kasus Boo.com tak lantas menjadi yurisprudensi bagi e-commerce lainnya. Pada periode yang sama ketika mereka ambruk, perusahaan e-commerce di Amerika Serikat (AS) yakni Amazon juga menghadapi goncangan crash tahun 1999. Namun, nasibnya justru berbeda jauh.

Kini kita mengenalnya sebagai e-commerce terbesar dunia, dengan 200 juta pelanggan inti dan pertumbuhan nilai kotor transaksi (gross merchandise value/GMV) sebesar 41% menjadi US$ 316 miliar (2020). JP Morgan memprediksi Amazon menyalip peritel Walmart tahun depan.

Apa yang membedakan Amazon dari perusahaan dotcom lainnya saat itu, sehingga mampu bertahan dan membawa pendirinya Jeff Bezos sebagai orang terkaya kedua? Jawabannya ada pada model bisnis dan strategi pendanaan yang jitu.

Boo.com ingin memimpin dengan membangun aplikasi canggih, yang sayangnya tak terkejar oleh internet lemot saat itu. Jika saja ada suntikan dana yang memungkinnya bernafas beberapa bulan, ia bisa jadi selamat, karena teknologi broadband mulai diterapkan massal pada akhir 2000.

Ia juga kemaruk dengan menggarap pasar 10 negara sekaligus, yang otomatis menyedot biaya operasional besar untuk logistik, pergudangan, dlsb. Dan, tentu saja, biaya iklannya terlalu gila-gilaan.

Sekalipun efektif, ia justru menjadi bumerang ketika ribuan calon pembeli yang antusias menemukan fakta bahwa perlu 8 detik hanya untuk membuka aplikasinya. Itupun sering hanged.

Amazon, di sisi lain, fokus menggarap pasar AS dan sukses mendulang dana tepat sebelum kejatuhan pasar pada tahun 2000. Bezos kala itu menerbitkan obligasi konversi (convertible bond) senilai US$ 672 juta. Dana tersebut cukup untuk membiayai operasi dan ekspansi mereka beberapa tahun ketika pasar guncang, meski dengan bunga mahal, yakni 6,9% per tahun.

Apakah unicorn Indonesia bakal mengikuti jejak Amazon, atau Boo.com, maka jawabannya terletak pada model bisnis dan kemampuan mendisrupsi pasar. Investor publik harus mengambil perspektif angel investor, yang meneropong prospek startup ke depan dan bukan melulu melihat sebesar apa laba bersih tahun lalu.

Harap dicatat, Amazon tatkala IPO di tahun 1997 masih memikul rugi bersih sebesar US$ 5,8 juta (per 1996). Rugi tersebut bahkan membengkak selepas IPO, menjadi US$ 27,6 juta dan baru bisa menorehkan laba bersih pada 2003 alias 6 tahun sejak masuk bursa. Kondisi tersebut serupa dengan startup Indonesia yang hendak masuk bursa, dalam hal ini Bukalapak.

Apakah di tengah kerugian tersebut, maka valuasi harus rendah? Jika mengacu pada Amazon, jawabannya: tidak. Harga perdana Amazon sebesar US$ 18/saham berujung pada kapitalisasi pasar US$ 438 juta (atau 29,2 kali dari pendapatan 1996, yang sebesar US$ 15 juta). Ia meraup dana segar US$ 54 juta, atau 4 kali lipat dari omzetnya.

Namun, penjamin emisi Bukalapak memang harus memberikan argumen lebih bagi pelaku pasar untuk menunjukkan bahwa target raupan dana sebesar Rp 19 triliun-Rp 22 triliun itu memang bisa dijustifikasi, karena masih lebih tinggi dibandingkan dengan valuasi Amazon saat IPO.

Di tengah perdebatan seputar valuasi, perlu ada apresiasi bagi unicorn yang hendak melantai di bursa, karena mereka cenderung mencontoh Amazon, ketimbang Boo.com yang menjadi perusahaan tertutup.

Dengan tercatat di bursa, ada tekanan eksternal bagi Bukalapak dkk untuk tak gegabah "bakar uang." Mereka harus menjaga persepsi pasar, bahwa ekspansi dijalankan secara terukur, dan tak mengubah mazhabnya, dari praktik bisnis ala Amazon, menjadi praktik ala Boo.com.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular