
IPO Unicorn Indonesia: The Next "Amazon" atau "Boo.com"?

Jakarta, CNBC Indonesia - Gemuruh pendanaan global terhadap startup kian riuh sepanjang pandemi dengan ratusan unicorn bermunculan di penjuru bumi dalam 6 bulan terakhir. Akankah situasi ini melahirkan "Amazon baru", atau banyak yang bakal berakhir seperti Boo.com?
"Rasanya seperti tahun 1999 [era bubble dotcom] bagi saya," tutur Hussein Kanji, pengelola Hoxton Ventures-perusahaan modal ventura berbasis di Inggris, kepada CNBC International, dikutip Rabu ini (14/7).
"Ada begitu banyak pasokan [dana] dan begitu banyak antusiasme."
Dia menanggapi temuan CB Insights, dirilis kemarin, yang menyatakan bahwa startup di seluruh dunia sukses meraup pendanaan senilai US$ 292,4 miliar (Rp 4.239 triliun, kurs Rp 14.500/US$) sepanjang tahun berjalan (belum 1 tahun), melampaui capaian total tahun lalu sebesar US$ 302,6 miliar (Rp 4.387 triliun).
Dari angka itu, penggalian dana jumbo bernilai US$ 100 juta lebih atau setara Rp 1,45 triliun, istilahnya: mega round, meningkat menjadi 751 transaksi, atau mengalahkan jumlah transaksi yang sama setahun penuh 2020, yang hanya 665 transaksi.
Tingginya kucuran dana ke startup berujung pada gendutnya valuasi perusahaan startup. Tidak heran, 249 di antaranya meraih gelar unicorn (bervaluasi di atas US$ 1 miliar atau Rp 14,5 triliun) sepanjang tahun berjalan ini, atau naik dua kali lipat dari capaian setahun penuh pada 2020.
Saat ini, menurut Hussein, valuasi perusahaan teknologi kian jauh dari realitas karena "fear of missing out (FOMO)" alias kekhawatiran ketinggalan gerbong. Kebijakan pelonggaran kuantitatif di Amerika Serikat (AS) dan negara maju lainnya berujung pada melimpahnya likuiditas di pasar. Sebagian diputar ke mata uang kripto, sebagian lain ke startup.
Di tengah situasi demikian, bisa dimaklumi jika Hussein merasa sedikit waswas. Negaranya, Inggris, menjadi saksi runtuhnya e-commerce Boo.com yang-menurut media teknologi global C-Net-merupakan kejatuhan perusahaan dotcom tersadis sepanjang sejarah.
Boo.com adalah perusahaan e-commerce yang berdiri pada tahun 1998 di Inggris, dengan visi membangun jaringan peritel fashion global, berbasis internet. Konsepnya mirip e-commerce sekarang seperti Bukalapak, Shopee, Tokopedia dkk tetapi berbasis internet.
Ia sukses meraih pendanaan venture capital senilai US$ 135 juta (Rp 1,96 triliun), di antaranya dari Goldman Sachs, JP Morgan, LVMH (Louis Vuitton), hingga klan konglomerat Hariri asal Lebanon. Namun, ia gulung tikar hanya 6 bulan setelah peluncuran perdana (grand launch).
Pemicunya adalah jor-joran iklan (yang mencapai US$ 25 juta, atau Rp 363 miliar), sementara kecanggihan aplikasi berbelanja yang ditawarkan (dengan model 3D) sulit diakses dengan internet lemot pada masa itu (yang berbasis sambungan telepon). Dus, tingkat pemesanan pun sangat rendah, hanya 0,25% atau 4 pesanan dari 1.000 pengunjung saat grand launch.
NEXT: Kisah Lain dari Amerika
Kasus Boo.com tak lantas menjadi yurisprudensi bagi e-commerce lainnya. Pada periode yang sama ketika mereka ambruk, perusahaan e-commerce di Amerika Serikat (AS) yakni Amazon juga menghadapi goncangan crash tahun 1999. Namun, nasibnya justru berbeda jauh.
Kini kita mengenalnya sebagai e-commerce terbesar dunia, dengan 200 juta pelanggan inti dan pertumbuhan nilai kotor transaksi (gross merchandise value/GMV) sebesar 41% menjadi US$ 316 miliar (2020). JP Morgan memprediksi Amazon menyalip peritel Walmart tahun depan.
Apa yang membedakan Amazon dari perusahaan dotcom lainnya saat itu, sehingga mampu bertahan dan membawa pendirinya Jeff Bezos sebagai orang terkaya kedua? Jawabannya ada pada model bisnis dan strategi pendanaan yang jitu.
Boo.com ingin memimpin dengan membangun aplikasi canggih, yang sayangnya tak terkejar oleh internet lemot saat itu. Jika saja ada suntikan dana yang memungkinnya bernafas beberapa bulan, ia bisa jadi selamat, karena teknologi broadband mulai diterapkan massal pada akhir 2000.
Ia juga kemaruk dengan menggarap pasar 10 negara sekaligus, yang otomatis menyedot biaya operasional besar untuk logistik, pergudangan, dlsb. Dan, tentu saja, biaya iklannya terlalu gila-gilaan.
Sekalipun efektif, ia justru menjadi bumerang ketika ribuan calon pembeli yang antusias menemukan fakta bahwa perlu 8 detik hanya untuk membuka aplikasinya. Itupun sering hanged.
Amazon, di sisi lain, fokus menggarap pasar AS dan sukses mendulang dana tepat sebelum kejatuhan pasar pada tahun 2000. Bezos kala itu menerbitkan obligasi konversi (convertible bond) senilai US$ 672 juta. Dana tersebut cukup untuk membiayai operasi dan ekspansi mereka beberapa tahun ketika pasar guncang, meski dengan bunga mahal, yakni 6,9% per tahun.
Apakah unicorn Indonesia bakal mengikuti jejak Amazon, atau Boo.com, maka jawabannya terletak pada model bisnis dan kemampuan mendisrupsi pasar. Investor publik harus mengambil perspektif angel investor, yang meneropong prospek startup ke depan dan bukan melulu melihat sebesar apa laba bersih tahun lalu.
Harap dicatat, Amazon tatkala IPO di tahun 1997 masih memikul rugi bersih sebesar US$ 5,8 juta (per 1996). Rugi tersebut bahkan membengkak selepas IPO, menjadi US$ 27,6 juta dan baru bisa menorehkan laba bersih pada 2003 alias 6 tahun sejak masuk bursa. Kondisi tersebut serupa dengan startup Indonesia yang hendak masuk bursa, dalam hal ini Bukalapak.
Apakah di tengah kerugian tersebut, maka valuasi harus rendah? Jika mengacu pada Amazon, jawabannya: tidak. Harga perdana Amazon sebesar US$ 18/saham berujung pada kapitalisasi pasar US$ 438 juta (atau 29,2 kali dari pendapatan 1996, yang sebesar US$ 15 juta). Ia meraup dana segar US$ 54 juta, atau 4 kali lipat dari omzetnya.
Namun, penjamin emisi Bukalapak memang harus memberikan argumen lebih bagi pelaku pasar untuk menunjukkan bahwa target raupan dana sebesar Rp 19 triliun-Rp 22 triliun itu memang bisa dijustifikasi, karena masih lebih tinggi dibandingkan dengan valuasi Amazon saat IPO.
Di tengah perdebatan seputar valuasi, perlu ada apresiasi bagi unicorn yang hendak melantai di bursa, karena mereka cenderung mencontoh Amazon, ketimbang Boo.com yang menjadi perusahaan tertutup.
Dengan tercatat di bursa, ada tekanan eksternal bagi Bukalapak dkk untuk tak gegabah "bakar uang." Mereka harus menjaga persepsi pasar, bahwa ekspansi dijalankan secara terukur, dan tak mengubah mazhabnya, dari praktik bisnis ala Amazon, menjadi praktik ala Boo.com.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cek! List Lengkap Investor Bukalapak yang Kunci Saham 6 Bulan