Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu pembangkit listrik terbesar di Filipina, San Miguel Corp, mengumumkan akan menghentikan proyek-proyek batu bara baru dari rencana ekspansinya. Hal ini dilaksanakan dalam rangka mempersiapkan transisi menuju energi rendah karbon di masa depan.
"Ini tidak mudah karena [Filipina] masih sangat bergantung pada sumber listrik tradisional yang andal dan terjangkau," kata Presiden San Miguel Corp, Ramon Ang dalam unggahan Facebook pada Sabtu (10/7).
Meskipun demikian, San Miguel Corp tetap yakin dapat melakukan transisi melalui kolaborasi dan teknologi baru, katanya.
 Foto: San Miguel Corp San Miguel Corp |
Dilansir dari Bloomberg, pada April lalu, San Miguel menyatakan telah menghabiskan lebih dari US$ 1 miliar atau setara Rp 14,5 triliun (kurs 14.500 miliar) untuk membangun 31 fasilitas penyimpanan energi baterai secara bersamaan dengan total kapasitas lebih dari 1.000 megawatt (MW).
San Miguel Corp berkontribusi 20,7% dari kapasitas pembangkit listrik yang terpasang di Filipina, sedikit lebih kecil dibandingkan dengan Aboitiz Power Corp yang menyumbang total 21,3%, menurut data pemerintah Filipina.
Departemen Energi Filipina pada akhir tahun 2020 mengumumkan moratorium atas dukungan terhadap pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru (PLTU).
Keputusan ini diambil karena Filipina berusaha untuk beralih ke pasokan listrik yang lebih fleksibel dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 75% pada tahun 2030.
Laporan Departemen Energi Oktober tahun lalu juga mencatat bahwa Filipina masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara, yang menyumbang 41% dari total kapasitas. Sumber energi terbarukan berkontribusi 29%, sementara minyak dan gas alam masing-masing menyumbang 17% dan 13%.
Lalu apa kabar dengan pembangkit listrik dalam negeri di Indonesia?
NEXT: Tren Pembangkit Listrik di RI
Berbondong-bondong negara di dunia meninggalkan penggunaan energi fosil dan beralih kepada energi ramah lingkungan atau energi baru terbarukan (EBT) tentu juga menjadi perhatian khusus dalam negeri.
Jika Filipina memiliki San Miguel Corp, dari dalam negeri Indonesia memiliki beberapa perusahaan yang telah menyatakan minat untuk ikut andil dalam pengembangan energi terbarukan guna menurunkan emisi karbon.
Manajemen perusahaan tambang BUMN, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menyatakan akan manfaatkan lahan bekas tambang untuk menghasilkan energi ramah lingkungan.
Bahkan dalam 10 tahun ke depan perusahaan memiliki visi bertransfromasi dari perusahaan batu bara menjadi perusahaan energi.
"Kami melihat bekas tambang ribuan hektar untuk membuat pembangkit listrik tenaga surya satu 1 mega watt (MW) ekuivalen dengan 1 hektar. Kalau menggunakan bekas tambang bukit asam 1.000 hektar dan itu kecil bagi perusahaan tambang, karena kami masih punya 99 ribu ha [hektare]," kata Direktur Utama PTBA Suryo Eko Hadianto, dalam Podcast Cuap Cuap Cuan CNBC Indonesia, Rabu (5/5/2021).
Dia menambahkan, jika memanfaatkan lahan bekas tambang PTBA hingga 1.000 ha maka jumlah listrik yang dihasilkan bisa mencapai 5.000 MW. Besaran itu pun hanya memanfaatkan 20% dari lahan yang dikelola perusahaan.
Selain PTBA, terdapat juga PT Adaro Energy Tbk (ADRO) ikut berpartisipasi di dalam sektor EBT melalui Adaro Green Inisiatif.
Presiden Direktur Adaro Energy, Garibaldi Thohir, atau akrab disapa Boy Thohir menjelaskan, Adaro harus bergerak ke arah energi hijau. Turut berpartisipasi dalam mendukung perubahan iklim.
"Adaro komit, makanya kami akan diversifikasi dan jangka panjang transformasi agar lebih jauh lagi lebih green lagi," ungkapnya dalam konferensi pers secara virtual bulan April lalu, (19/4).
Adaro akan fokus ke beberapa jenis EBT, salah satunya biomassa. Boy Thohir menyebut potensinya sangat besar, bahkan PT PLN (Persero) juga sudah mulai mengkombinasikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)-nya dengan biomassa.
Lebih lanjut kakak Menteri BUMN Erick Thohir ini mengatakan, tidak hanya di biomassa, Adaro juga akan mulai masuk ke solar, hydro, dan angin. Namun pihaknya akan fokus ke Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Sementara itu raksasa tambang batu bara lain, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), mengatakan akan berpartisipasi dalam proyek gasifikasi batu bara guna menurunkan emisi karbon.
Selain gasifikasi, Indo Tambangraya telah mengoperasikan PLTS di lokasi tambang Indominco.
Selain untuk membantu mengurangi jejak karbon ITMG yang merupakan komitmen perseroan, langkah ini juga akan mengurangi biaya operasional. Sistem ini diproyeksikan menghasilkan 230 MWh energi dariPhotovoltaic(PV) surya setiap tahun, sehingga dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 192 ton.
Anak usaha Grup Astra juga ikut mengambil bagian dalam transisi energi ini. Direktur Utama PT United Tractors Tbk (UNTR), Frans Kesuma saat berbicara mengenai potensi penggunaan batu bara ke depan dalam Workshop Astra (27/5), mengatakan perkembangan penciptaan energi bersih di masa depan akan semakin menggerus penjualan batu bara.
Dengan demikian, dalam rencana perusahaan belum ada rencana penambahan atau akuisisi tambang batu bara baru. Hanya memanfaatkan yang ada di portofolio perusahaan saat ini.
Saat ini di lini produksi batu bara UNTR dioperasikan oleh PT Asmin Bara Bronang, dan PT Telen Orbit Prima yang memproduksithermal coal. Sementara PT Suprabari Mapanindo Mineral memproduksi coking coal.
Berbagai perusahaan lain juga terus menjajaki peluang di sektor energi terbarukan dan upaya pengurangan emisi, seperti PT Harum Energy Tbk (HARM) yang mulai menggunakan energi terbarukan dalam operasi perseroan untuk mengurangi penggunaan BBM dan biaya produksi batubara perseroan.
Terkait kebijakan penurunan emisi karbon, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan Indonesia belum akan mengubah target awal Perjanjian Paris (Paris Agreement) untuk menurunkan besaran emisi sebesar 29% dan meningkatkan sampai dengan 41% pada tahun 2030 dengan dukungan kerja sama internasional.
Selain itu berdasarkan buku bauran energi nasional, peran batubara terhadap pengelolaan energi nasional dipatok paling sedikit 30% dari total kebutuhan energi dan pada tahun 2050 angka ini dibatasi menjadi 25% dengan ekspor batubara direncanakan baru akan dihentikan pada tahun 2046.
Adapun pasokan energi baru dan terbarukan tahun 2025 ditargetkan paling sedikit 23% dan tahun 2050 minimal 31% dari kebutuhan total energi nasional.