Ada Kejutan dari BI, tapi Rupiah Tetap Keok di Spot & JISDOR

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 July 2021 16:05
Ilustrasi Dollar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Dollar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya melemah melawan dolar Amerika Serikat pada Kamis (8/7/2021) setelah bergerak dengan volatilitas tinggi di awal perdagangan.

Rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed menjadi penggerak utama, selain ada kejutan dari dalam negeri yang belum mampu mendongkrak kinerja rupiah hingga kembali ke atas Rp 14.500/US$.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di level Rp 14.490/US$, melemah 0,07% di pasar spot, melansir data Refintiv. Rupiah kemudian melemah 0,41% ke Rp 14.540/US$, sebelum berbalik menguat ke Rp 14.420/US$, atau menguat 0,41% juga dibandingkan penutupan perdagangan Rabu.

Tetapi tidak lama, rupiah kembali melemah bahkan menyentuh Rp 14.545/US$, lebih tajam dari sebelumnya. Di akhir perdagangan, Mata Uang Garuda mampu memangkas pelemahan menjadi 0,28% ke Rp 14.520/US$ di pasar spot.

Sementara di kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah melemah 0,33% ke Rp 14.548/US$.

Meski melemah cukup tajam, tetapi dibandingkan mata uang Asia lainnya kinerja rupiah lebih baik. Mayoritas mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS, hingga pukul 15:07 WIB, won Korea Selatan menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,54%. Melengkapi 3 besar ada baht Thailand, dan ringgit Malaysia.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.

Rupiah masih belum mampu menguat meski ada kejutan, konsumen Indonesia masih optimistis melihat perekonomian saat ini dan beberapa bulan ke depan meski penyakit virus corona (Covid-19) sedang melonjak. Ini tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang naik dan berada di atas 100.

Hari ini BI melaporkan, IKK pada Juni 2021 berada di 107,4. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 104,4. IKK di bulan Juni juga merupakan yang tertinggi sejak Maret 2020. 

"Kondisi ini perlu terus dijaga dan dicermati sejalan diterapkannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat guna mengatasi kenaikan Covid-19 di Indonesia."

"Hal ini juga mempertimbangkan hasil SK yang mengindikasikan penguatan optimisme konsumen pada Juni 2021 tersebut terutama didorong oleh persepsi konsumen yang membaik terhadap kondisi ekonomi saat ini, meski masih berada pada area pesimis (<100)," sebut keterangan tertulis BI yang dirilis Kamis (87/2021.

Namun, survei tersebut dilakukan sebelum pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat sejak 3 Juli lalu. Sehingga, masih belum diketahui apakah konsumen masih optimistis, atau sedikit menurun, atau bahkan berbalik menjadi pesimistis.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Notula The Fed Bikin Rupiah Jungkir Balik

Rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed menjadi pemicu utama pergerakan jungkir balik rupiah pagi ini.

Isi dari notula tersebut menunjukkan mayoritas komite pembuat kebijakan moneter (FOMC) sepakat perekonomian harus menunjukkan "kemajuan substansial lebih jauh" sebelum The Fed mulai mengetatkan kebijakan moneter.

Meski ada beberapa anggota FOMC yang melihat pemulihan ekonomi jauh lebih cepat dari perkiraan, dan inflasi yang sangat tinggi, sehingga The Fed perlu "mengendurkan pedal gas".

Tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) yang selama ini menjadi ketakutan pelaku pasar memang sudah dibahas, tetapi The Fed menyatakan tidak akan terburu-buru untuk melakukannya.

Meski demikian, pelaku pasar masih melihat kemungkinan tapering akan dilakukan di tahun ini. Masih adanya perbedaan pendapat di pasar terkait kapan The Fed akan melakukan tapering membuat rupiah jungkir balik.

"Rilis notula mengkonfirmasi jika The Fed kemungkinan besar akan melakukan tapering di tahun ini," kata Kathy Lien, managing director di BK Asset Management.

Tetapi reaksi yang ditunjukkan pasar berbeda, yield obligasi (Treasury) AS justru merosot. Ketika The Fed mengindikasikan pengetatan moneter dengan tapering hingga kenaikan suku bunga, yield Treasury biasanya akan bergerak naik. Tetapi, Yield Treasury tenor 10 tahun kini berada di 1,322%, level terendah sejak pertengahan Februari, serta sudah mengalami penurunan dalam 7 hari beruntun.

Bahkan tren penurunan sudah dimulai sejak yield Treasury mencapai level tertinggi pra pandemi 1,776% pada 30 Maret lalu. Saat The Fed mengumumkan kebijakan moneter pertengahan Juni lalu, yield sempat mengalami kenaikan lagi, tetapi hanya berlangsung sesaat dan kembali longsor.

Turunnya yield Treasury bisa menunjukkan pelaku pasar kurang pede terhadap outlook perekonomian AS. Tetapi di sisi lain, akan memberikan keuntungan bagi obligasi Indonesia (Surat Berharga Negara/SBN), sebab selisih yield-nya menjadi melebar. Pelaku pasar yang lebih berani mengambil risiko dengan imbal hasil yang tinggi tentunya akan mengalirkan modalnya ke pasar obligasi Indonesia.

Hal tersebut tentunya tidak hanya membuat harga SBN naik, tetapi juga menguntungkan bagi rupiah, meski masih harus menghadapi kuatnya dolar AS.

Indeks dolar AS kembali menguat 0,17% ke 92,705 pada perdagangan Rabu, dan berada di level tertinggi sejak 5 April.

Pergerakan yield Treasury dengan dolar AS biasanya beriringan, tetapi belakangan ini malah berlawan arah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular