Semester I-2021

Kecuali India-RI, Asing Kompak Kabur dari Bursa Asia di Juni

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
07 July 2021 12:20
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) di mayoritas bursa saham Asia pada Mei-Juni alias dalam 2 bulan berturut-turut, seiring meningkatnya tekanan inflasi dan lonjakan kasus virus Covid-19 di sejumlah negara benua kuning.

Melansir Reuters, Selasa (6/7), secara total asing melakukan jual bersih senilai US$ 725 juta atau setara dengan Rp 10,15 triliun (asumsi kurs US$ 1 = Rp 14.000) sepanjang Juni di bursa Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan India.

Sejurus dengan itu, aliran dana asing yang keluar (outflow) pada paruh pertama tahun ini sebesar US$ 24,6 miliar atau Rp 344 triliun, dibandingkan dengan total arus masuk (inflow) US$ 21,6 miliar atau Rp 302 triliun pada paruh kedua 2020.

Reuters mencatat, kinerja indeks saham di negara-negara Asia tertinggal di belakang reli kenaikan saham di Amerika Serikat (AS) dan Eropa tahun ini, seiring lonjakan infeksi Covid-19 dan didorong sentimen soal tingkat inflasi AS yang memicu kekhawatiran investor bahwa bank sentral AS alias the Fed mungkin menaikkan suku bunga lebih awal dari yang diharapkan.

Menurut kepala strategi ekuitas Asia di HSBC Herald van der Linde, pergeseran aliran dana tahun ini tidak membuat harapan pemulihan pendapatan di Asia menurun.

"Kita telah melihat imbal hasil obligasi yang lebih kuat dan lebih tinggi membebani ekuitas di Asia. Hal itu menyebabkan peralihan dari ekuitas Asia ke ekuitas pasar negara maju," katanya.

Menurut data Reuters, Taiwan dan Korea Selatan membukukan outflow tertinggi pada bulan lalu, dengan nilai jual bersih masing-masing US$ 2 miliar dan US$ 795 juta.

Thailand, Vietnam, Filipina juga mengalami aliran dana asing keluar pada Juni.

Sumber: ReutersFoto: Sumber: Reuters
Sumber: Reuters

Korea Selatan mengalami lonjakan kasus virus corona, dipicu oleh varian Delta yang sangat menular, sementara Thailand juga mengalami pandemi virus yang berkepanjangan.

Di sisi lain, ekuitas India 'kebanjiran' dana asing senilai US$ 2,4 miliar (Rp 33,6 triliun) pada bulan Juni, setelah mengalami outflow dalam dua bulan sebelumnya.

Masuknya dana asing tersebut terjadi seiring penurunan kasus infeksi Covid-19 di India, yang pada Mei lalu sempat mengalami 'tsunami' dengan kasus harian mencapai 400 ribu, sehingga meningkatkan harapan pembukaan kembali ekonomi nasional.

Menurut data Kementerian Informasi dan Penyiaran India, pada Selasa (6/7), kasus harian Covid-19 bertambah 34.703 kasus, terendah dalam 111 hari. Angka kematian bertambah 553, menjadi yang terendah dalam 90 hari terakhir.

Dengan penambahan kasus baru, jumlah total kasus Covid-19 naik menjadi 30.619.932, sementara jumlah kematian naik menjadi 403.281. Secara keseluruhan, India telah memvaksinasi penuh 4,7% dari total populasi, dengan 21% populasi telah menerima dosis pertama.

Namun di tengah penurunan kasus Covid-19 akhir-akhir ini, sebuah laporan penelitian dari SBI Research menyatakan bahwa India dapat mengalami gelombang covid ketiga--setelah gelombang kedua pada Mei lalu--mulai Agustus 2021 sampai September 2021.

Selain India, Indonesia juga mencatatkan beli bersih asing pada bulan Juni senilai Rp 4,87 triliun seiring dengan beberapa perkembangan yang terjadi di Tanah Air terkait pagebluk Covid-19 dan pemulihan ekonomi.

Menurut pengamat pasar modal Kornelis Wicaksono, perkembangan yang menjadi perhatian pasar, pertama, yakni mengenai wacana reformasi perpajakan di Indonesia.

Mantan analis Reliance Sekuritas itu mengatakan, tujuan dari perubahan ini salah satunya untuk meningkatkan rasio perpajakan supaya pemerintah mencapai target defisit fiskal maksimum -3% dari PDB di tahun 2023.

"Memang perubahan perpajakan tersebut berpotensi meningkatkan pendapatan hampir 1% dari PDB, meskipun demikian pemilihan waktu implementasi merupakan hal yang krusial mengingat kita masih dalam masa pemulihan ekonomi," kata Kornelis kepada CNBC Indonesia, Selasa (6/7).

Kemudian, hal kedua yang menjadi perhatian pasar di bulan lalu adalah posisi neraca perdagangan Indonesia. Neraca perdagangan di bulan Mei, yang hasilnya rilis pada pertengahan Juni, mencatat surplus yang cukup besar terutama didorong oleh kenaikan ekspor.

Informasi saja, pada 15 Juni lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$ 2,36 miliar pada Mei 2021.

Hal ketiga yang menjadi sentimen pasar di bulan Juni adalah lonjakan kasus Covid-19 yang dibarengi oleh pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Mikro dan PPKM darurat oleh pemerintah.

"Namun ada hal positif juga yaitu tingkat vaksinasi harian yang mencapai satu juta dosis per hari nampak disambut positif oleh investor. Dibandingkan negara tetangga, hanya India yang jumlah total vaksinasi melebih Indonesia, sisanya jauh di bawah," ujar Kornelis.

Hal ini, kata Kornelis, menambah kepercayaan investor bahwa pemerintah melakukan berbagai upaya demi menekan penyebaran virus dan memperkuat pemulihan ekonomi Indonesia.

Sementara, Goldman Sachs mengatakan nilai ekuitas di Asia diperdagangkan dengan 'diskon' hampir 30% dibandingkan ekuitas Amerika Serikat. Goldman Sachs juga mencatat, konsolidasi ekuitas Paman Sam dapat mendorong arus untuk pindah ke ekuitas non-AS termasuk Asia.

"Pasar Asia secara fundamental tetap kuat, dan arus keluar (outflow) apa pun lebih terkait penyeimbangan kembali (rebalancing) daripada [faktor] yang lainnya," kata Paul Sandhu, Kepala Solusi Kuantitas Multi-Aset di BNP Paribas Asset Management kepada Reuters.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Anjlok Hingga 1%, Asing Cetak Net Sell Rp 1 Triliun

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular