Dolar AS Tak Sedahsyat yang Dikira, Mending Pegang Rupiah?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 July 2021 17:43
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasca anjlok tajam pada perdagangan Jumat pekan lalu, Dolar Amerika Serikat (AS) perlahan mulai pulih lagi. Hasil survei terbaru dari Reuters juga menunjukkan dolar AS masih akan kuat dalam beberapa bulan ke depan, tetapi dalam jangka panjang malah diprediksi melemah.

Ibarat peribahasa, penguatan dolar AS "hangat-hangat tahi ayam".

Melansir data Refinitiv, siang ini indeks dolar AS menguat 0,14% ke 92,358, setelah merosot 0,4% Jumat lalu. Sebelum merosot, indeks dolar AS sudah membukukan penguatan 7 hari beruntun, dan menyentuh level tertinggi sejak 5 April lalu. 

Reuters melakukan survei pada periode 28 Juni sampai 1 Juli, lebih dari 70 analis mata uang menunjukkan merespon survei tersebut, mayoritas memprediksi dolar AS akan melemah melawan mata uang utama dalam 12 bulan ke depan.

Reuters juga memberikan pertanyaan mengenai outlook dalam 3 bulan ke depan, sebanyak 51 analis merespon dan 38 orang atau 75% memproyeksikan dolar AS masih akan menguat.

"Dalam beberapa bulan ke depan dolar AS akan mendapat sentimen positif, hasilnya tentu saja penguatan dolar AS dalam jangka pendek. Tetapi untuk jangak panjang, kami melihat dolar AS masih berada dalam rentang yang fair, kata David Adams, kepala strategi mata uang G10 di Morgan Stanley, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (2/7/2021).

Pertanyaan lain yang diberikan Reuters yakni seberapa lama dolar AS akan menguat direspon oleh 63 analis, sebanyak 37 orang mengatakan hanya berlangsung kurang dari 3 bulan ke depan. Dari situ bisa dirinci lagi sebanyak 17% memprediksi penguatan dolar AS sudah berakhir, 10% masih akan menguat kurang dari satu bulan lagi, dan 32% menyebut penguatan akan berlangsung kurang dari 3 bulan.

idrFoto: Refinitiv

Sementara 26 dari 63 analis mengatakan penguatan dolar AS masih akan berlangsung lebih dari 3 bulan ke depan. Rinciannya, sebanyak 8% memprediksi kurang dari 6 bulan, dan 33% menyatakan penguatan dolar bisa berlangsung lebih dari 6 bulan.

Secara umum, hasil survei tersebut dibagi dua, yang menguat kurang dari 3 bulan ke depan 59% dan yang lebih dari 3 bulan ke depan 41%.

Maju mundurnya spekulasi tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) menjadi sorotan dalam survei tersebut yang berdampak pada proyeksi dolar AS. Hasil survei Reuters sebelumnya menunjukkan The Fed diperkirakan akan melakukan tapering pada bulan September. Tetapi proyeksi dari The Fed sendiri tidak akan melakukan tapering hingga tahun depan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Lebih Baik Pegang Rupiah daripada Dolar AS?

Survei yang dilakukan Reuters tersebut berlangsung sebelum rilis data tenaga kerja AS yang sedikit merubah peta kekuatan the greenback.

Pada Jumat lalu, Badan Statistik Tenaga kerja AS melaporkan sepanjang bulan Juni terjadi penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP) sebanyak 850.000 orang, lebih banyak dari prediksi Reuters sebanyak 700.000 orang. Meski jumlah perekrutan lebih banyak dari perkiraan, tetapi tingkat pengangguranm justru naik menjadi 5,9% dari sebelumnya 5,8%.

Selain itu, pertumbuhan rata-rata upah per jam hanya 0,3%, lebih rendah dari konsensus 0,4%. Tetapi tidak lama malah balik merosot.

"Awalnya kita bereaksi positif terhadap data NFP yang lebih kuat dari perkiraan. Tetapi dolar AS kemudian berbalik melemah melihat detail laporan tersebut, khususnya tingkat pengangguran yang naik," kata Vassilu Serebriakov, ahli strategi mata uang di UBS New York, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (2/7/2021).

Kenaikan upah yang lebih rendah dari perkiraan juga memberikan tekanan. Sebab upah terkait dengan daya beli masyarakat, yang kemudian berdampak pada inflasi. Ketika inflasi mulai melandai, maka tekanan bagi The Fed untuk melakukan tapering di tahun ini akan mereda.

Analis Westpac, Imre Spesizer juga menyatakan hal yang sama, dan menambahkan sinyal kapan tapering dilakukan bisa terlihat lebih jelas pada bulan depan saat pertemuan Jackson Hole.

"Rilis data tenaga kerja kemungkinan membuat The Fed tidak akan melakukan tapering dalam waktu dekat. Saya pikir pasar melihat kemungkinan mendapat sinyal tapering di pertemuan Jackson Hole bulan Agustus," katanya sebagaimana dilansir CNBC International Senin (5/7/2021).

Jakson Hole merupakan acara tahunan yang mempertemukan bank sentral di seluruh dunia, begitu juga menteri keuangan, akademisi hingga praktisi dunia finansial. Sehingga pertemuan tersebut selalu dinanti-nanti oleh pelaku pasar.

Dengan tertekannya dolar AS bukan berarti rupiah akan menguat dengan mudah. Sebab, kasus pandemi penyakit virus corona (Covid-19) masih mengancam rupiah.

Kemarin, jumlah kasus Covid-19 dilaporkan bertambah sebanyak 27.233 orang, sedikit turun dibandingkan Sabtu lalu yakni 27.913 orang yang merupakan rekor penambahan kasus per hari.

Lonjakan kasus tersebut membuat pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) PPKM Mikro Darurat yang berlangsung pada 3 hingga 20 Juli mendatang. Tujuannya, agar penambahan kasus per hari bisa ditekan ke bawah 10.000 orang.

Jika target tersebut belum tercapai, tentunya ada kemungkinan PPKM Mikro Darurat akan diperpanjang, dan mengancam pemulihan ekonomi.

Sektor manufaktur sudah merasakan efek dari lonjakan kasus Covid-19, bahkan sebelum PPKM Mikro Darurat ditetapkan.

IHS Markit pada pekan lalu melaporkan kabar kurang bagus. Aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) pada Juni 2021 dilaporkan 53,5.

Meski masih menunjukkan ekspansi (angka indeks di atas 50), tetapi menunjukkan pelambatan dari sebelumnya sebesar 55,3 di mana kala itu menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan.

"Pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia pada Juni mengalami perlambatan akibat gelombang kedua serangan virus corona. Produksi tetap tumbuh dengan kuat meski dampak pandemi perlu dilihat dalam beberapa bulan ke depan.

"Secara umum, dunia usaha masih optimistis dengan masa depan produksi manufaktur. Namun gangguan akibat pandemi mulai menunjukkan tanda-tanda kewaspadaan," jelas Jingyi Pan, Economics Associate Director IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Sektor manufaktur sendiri berkontribusi sekitar 20% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia, sehingga berlanjutnya ekspansi menjadi sangat penting guna memulihkan perekonomian.

Selain itu, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga bisa kembali terpukul. Ketika konsumen kembali pesimistis, maka belanja berisiko menurun. Sekali lagi, pemulihan ekonomi Indonesia akan menghadapi tantangan berat di kuartal III-2021.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masih Tertekan, Rupiah Bisa Sentuh Rp 14.800/USD di Q2-2021

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular