Mal Cuma Buka Hingga Jam 5 Sore, Rupiah Makin Tak Berdaya!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 June 2021 09:27
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Sementara itu dolar AS cukup perkasa belakangan ini setelah rilis data inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) Jumat pekan lalu. Indeks dolar AS pada Jumat pekan lalu sempat merosot hingga 0,31% yang membuat rupiah mampu menguat. Tetapi pasca rilis data tersebut pada Jumat malam indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini berhasil berbalik menguat tipis 0,04%. Penguatan tersebut masih berlanjut Senin kemarin, meski tipis 0,04% juga.

Inflasi PCE merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) untuk menetapkan kebijakan moneter, alias tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) serta kenaikan suku bunga.

Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (25/6/2021) melaporkan inflasi inti PCE di bulan Mei tumbuh 3,4% year-on-year (YoY). Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.

Perekonomian yang mulai membaik, bahkan lebih cepat dari prediksi The Fed, serta low base effect, membuat inflasi meroket. The Fed sendiri sudah merubah proyeksi kenaikan suku bunganya, dari yang sebelum akan menaikkan di 2024, menjadi ke 2023, bahkan tidak menutup kemungkinan di tahun depan.

Meski demikian, perbedaan pendapat mengenai inflasi di antara para pejabat The Fed membuat pasar masih menanti rilis data-data selanjutnya guna melihat lebih jelas peluang pengetatan moneter The Fed.

Pada Selasa pekan lalu, ketua The Fed Jerome Powell mengatakan tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga hanya karena inflasi yang sedang tinggi saat ini.

"Kami tidak akan menaikkan suku bunga hanya karena kekhawatiran kemungkinan percepatan laju inflasi. Kami akan menunggu lebih banyak bukti mengenai inflasi. Percepatan laju inflasi saat ini belum mencerminkan ekonomi secara keseluruhan, tetapi adalah efek langsung dari reopening," jelas Powell.

Tetapi sehari setelahnya, dua pejabat teras bank sentral AS (The Fed), Raphael Bostic (Presiden The Fed Atlanta) dan Michelle Bowman (Anggota Dewan Gubernur The Fed), menyatakan tekanan inflasi boleh saja cuma sementara. Namun dampaknya akan terasa dalam waktu lebih lama dari perkiraan sebelumnya.

"Berbagai data terbaru membuat saya memajukan proyeksi (perkiraan kenaikan suku bunga acuan). Saya memperkirakan suku bunga sudah perlu naik pada akhir 2022. Meski temporer, tekanan inflasi akan terjadi dalam waktu yang lebih lama dari perkiraan. Bukan hanya 2-3 bulan tetapi bisa 6-9 bulan," ungkap Bostic, sebagaimana diwartakan Reuters.

"Saya setuju bahwa tekanan inflasi disebabkan oleh keterbatasan pasokan dan peningkatan permintaan akibat pembukaan kembali aktivitas masyarakat (reopening). Jika situasi sudah lebih stabil, lebih seimbang, tekanan ini memang akan berkurang. Namun saya sulit memperkirakan kapan itu terjadi, yang jelas akan memakan waktu," tambah Bowman, juga dikutip dari Reuters.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular