
Covid Meledak-Taper Tantrum Mendekat, Rupiah Kudu Hati-hati

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah merosot 1,28% melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan lalu ke Rp 14.370/US$. Bank sentral AS (The Fed) yang mengejutkan pasar dengan memproyeksikan suku bunga akan naik di tahun 2023 membuat rupiah terpukul.
Isu tersebut masih akan mempengaruhi pergerakan pasar mata uang di pekan ini, ditambah dengan lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19), rupiah berisiko kembali merosot.
The Fed saat mengumumkan kebijakan moneter pekan lalu mengindikasikan suku bunga bisa naik dua kali di tahun 2023, masing-masing sebesar 25 basis poin menjadi 0,75%.
Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, dimana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.
Tidak hanya itu, beberapa anggota The Fed juga melihat kemungkinan suku bunga bisa naik di tahun depan. Alhasil, dolar AS menjadi perkasa. Sepanjang pekan lalu indeks dolar AS melesat 1,8% ke 92,346, level terkuat sejak awal April.
Sementara itu kasus Covid-19 di Indonesia yang kembali menanjak dalam beberapa hari terakhir membuat pelaku pasar was-was. Dalam 4 hari terakhir, penambahan kasus per hari lebih dari 12 ribu orang, bahkan pada hari ini Minggu (20/6/2021) jumlah kasus baru dilaporkan sebanyak 13.737 orang. Penambahan tersebut merupakan yang tertinggi sejak 30 Januari lalu, ketika mencatat rekor tertinggi 14.518.
Rata-rata penambahan kasus dalam 2 pekan terakhir sebanyak 9562 naik hingga 66% dibandingkan rata-rata 3 pekan sebelumnya 5772 kasus.
Lonjakan kasus dalam beberapa pekan terakhir tentunya membuat pelaku pasar cemas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih ketat bisa kembali diterapkan. Apalagi provinsi DKI Jakarta mencatatkan kenaikan angka positif virus Corona sangat signifikan, bahkan mencatat rekor tertinggi selama pandemi. Jumlah pasien yang terpapar positif Covid-19 hari ini dilaporkan sebanyak 5.582 kasus.
Jika PPKM diketatkan, maka pemulihan ekonomi terancam tersendat lagi, yang tentunya dapat memukul rupiah.
Sementara itu dari luar negeri, perhatian tertuju ke testimoni ketua The Fed, Jerome Powell, akan menjadi perhatian pelaku pasar guna mencari kejelasan terkait tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE).
The Fed dalam pengumuman kebijakan moneternya Kamis lalu tidak menyebutkan mengenai masalah tapering, tetapi menyiratkan sudah mendiskusikan hal tersebut.
Tetapi, jika suku bunga akan dinaikkan lebih cepat dari sebelumnya, artinya tapering juga kemungkinan besar akan lebih cepat, terjadi di semester II tahun ini. Apalagi The Fed juga menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari sebelumnya 2,4%.
"Jika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, mereka harus mulai melakukan tapering lebih cepat untuk mencapai target tersebut. Tapering dalam laju yang moderat kemungkinan akan memerlukan waktu selama 10 bulan, sehingga perlu dilakukan di tahun ini, dan jika perekonomian menjadi sedikit panas, maka suku bunga bisa dinaikkan lebih cepat lagi," kata Kathy Jones, kepala fixed income di Charlers Schwab, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (17/6/2021).
Jika Powell menyiratkan tapering akan dilakukan di semester II tahun ini, tentunya lebih cepat dari spekulasi pasar sebelumnya di awal tahun depan, maka pasar finansial berisiko mengalami gejolak lagi termasuk di Indonesia. Risiko taper tantrum pun semakin meningkat.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berada di Atas 3 MA, Rupiah Berisiko Merosot ke Rp 14.500/US$
